Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketua Komisi VI DPR Aceh, Nazaruddin alias Tgk Agam, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) segera membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengusut tuntas dugaan rekayasa pengalihan empat pulau di Aceh ke wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Menurut Tgk Agam, pengalihan tersebut bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi berpotensi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan Aceh.
“Kami menduga kuat ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang difasilitasi oknum di Kemendagri untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu yang mengincar potensi sumber daya alam di kawasan itu,” kata Tgk Agam dalam pernyataan resminya, Minggu (15/6/2025).
Ia menyebutkan, dasar hukum pengalihan wilayah itu merujuk pada dokumen kontroversial tahun 1992 yang diteken oleh Gubernur Aceh, Gubernur Sumut, dan Menteri Dalam Negeri saat itu. Namun, menurutnya, dokumen tersebut bertentangan dengan sejarah dan hukum yang berlaku.
“Kalau ini bukan pesanan kapitalis, mustahil ada pejabat berani melabrak fakta historis dan hukum. Bahkan arsip dari Pemerintah Belanda yang menegaskan keempat pulau itu milik Aceh pun diabaikan,” ujarnya.
Tgk Agam menilai DPRA tidak boleh tinggal diam. Ia meminta agar segera dibentuk Pansus agar ada langkah konkret dalam menindaklanjuti temuan ini.
“Kalau Pansus menemukan unsur pidana, DPRA harus melapor langsung kepada Presiden. Ini bukan sekadar kehilangan wilayah, tapi juga penghancuran martabat Aceh,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa persoalan ini bisa memicu instabilitas politik dan bahkan melanggar nota kesepahaman (MoU) Helsinki 2005, yang menjadi fondasi perdamaian di Aceh pasca-konflik.
Lebih lanjut, Tgk Agam mendorong pembentukan Satuan Tugas Penjaga Wilayah yang bertugas memantau dan mengantisipasi upaya serupa di masa mendatang.
Tegaskan Evaluasi Ulang Wilayah
Menutup pernyataannya, Tgk Agam meminta DPRA untuk mengevaluasi ulang batas wilayah Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh.
“Ini soal harga diri Aceh. Siapa pun yang terlibat dalam pengkhianatan ini harus diungkap. Rakyat Aceh berhak tahu siapa pengkhianatnya!” tegas Tgk Agam. (*)