Suasana di ruang hemodialisis (HD) Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Provinsi Aceh terlihat tenang. Para pasien berbaring di ranjang yang berjejer rapi. Di sisi mereka sebuah mesin fresenius sedang beroperasi melakukan pencucian darah.
Muhammad Nasir (56), berbaring santai sembari berbincang dengan istrinya, Risnawati (53). Dua buah selang terhubung dari mesin fresenius ke lengan kanannya. Nasir sedang menjalani cuci darah. Butuh waktu empat jam menyelesaikan cuci darah.
“Saya sudah tiga tahun melakukan cuci darah. Rutin seminggu dua kali,” ujar Nasir.
Saat ke rumah sakit, Nasir selalu didampingi istri. Sambil menunggu proses cuci darah, suami istri itu berbagi cerita.
Nasir didiagnosa mengalami gagal ginjal stadium lima, tingkat paling parah. Penjelasan yang dia terima dari dokter, gagal ginjal yang dialami dipicu oleh darah tinggi.
Saat divonis gagal ginjal Nasir yang bekerja sebagai buruh harian lepas ini sempat terpukul. Dia terpaksa berhenti bekerja karena harus menjalani pengobatan rutin. Selama tidak bekerja lagi, biaya kebutuhan sehari-hari kini bergantung pada anaknya.
Nasir sempat khawatir tidak akan mampu menanggung biaya pengobatan. Soalnya, pengobatan akan berlangsung dalam waktu yang lama.
Rasa gundahnya sirna saat mengetahui bahwa semua biaya pengobatan ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Dalam sekali cuci darah diperlukan biaya sebesar Rp 2.135.000. Jika dilakukan dua kali dalam seminggu, total biaya cuci darah Rp4.270.000, sehingga jika dihitung dalam setahun, pasien hemodialisis (HD) perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp10,2 juta. Beruntung, segala biaya pengobatan Nasir ditanggung oleh JKA.
“Kalau bukan dari JKA, entah dari mana kami bisa membayar, tidak tau lagi bagaimana nasib kami yang bergantung pada cuci darah seumur hidup,” ucapnya, Senin (21/8/2023).
Selain terbantu biaya, Nasir merasakan layanan diberikan sangat memuaskan. Dari kejelasan jadwal layanan cuci darah, kenyamanan ruangan, hingga pelayanan dari tenaga medis di rumah sakit.
Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan mempermudah proses bagi pasien cuci darah melalui penerapan sistem sidik jari. Pasien seperti Nasir tidak perlu lagi menghadapi kerumitan memberikan surat rujukan berulang kali. Cukup dengan mendaftar dan menempelkan jempolnya pada alat fingerprint, dia langsung menuju ke ranjang perawatan.
Peserta lainnya Indra Syahputra (46) juga sedang berbaring di ruang talasemia gedung Onkologi RSUDZA. Saat itu petugas BPJS Kesehatan meninjau pasien yang berada di ruang tersebut untuk memastikan pelayanan berjalan baik.
“Bagaimana kondisi Bapak sekarang, apakah sudah membaik?” Tanya Roni Afrilla, petugas BPJS Kesehatan, Selasa (22/8/2023).
“Alhamdulillah, selama menjalani transfusi darah rutin setiap bulan, kondisi saya sudah membaik,” jawab Indra, Warga Lamdingin, Banda Aceh.
Indra mengidap talasemia mayor, penyakit kelainan darah secara genetika ini membuat pengidap terlihat pucat dan kekurangan darah. Indra juga termasuk peserta JKA, selama ini dia berobat menggunakan BPJS tanpa pernah membayar iuran.
Sudah setahun berlalu, rutinitas bulanan Indra tak lagi sekadar mencari rezeki di toko kelontongnya. Dia juga bergantung pada setiap kantong darah seumur hidupnya.
“Biaya pengobatan ini sangat bergantung pada JKA. Selama ini, pelayanan sangat baik dan tidak adanya perbedaan perlakuan,” jelasnya.
Nasir, Indra, dan ribuan pasien lainnya beruntung karena mendapatkan fasilitas kesehatan ini secara gratis.
Pemprov Aceh menanggung seluruh biaya pengobatan bagi warga yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Aceh. Melalui dana otonomi khusus, JKA memberikan jaminan kesehatan yang merata bagi semua warga.
Integrasi JKA-JKN
JKA diluncurkan 2010, tetapi pada 2014 JKA integrasi dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di bawah naungan BPJS Kesehatan. Pemegang KTP Aceh bukan hanya sekadar identitas, tetapi juga menjadi tiket akses bagi warga Aceh untuk mendapatkan perawatan kesehatan tanpa beban finansial.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh Yuanita Ananta menjelaskan hampir seluruh masyarakat di Aceh telah memiliki payung perlindungan untuk mengakses layanan di fasilitas kesehatan.
Anggaran yang dialokasi untuk membayar premi JKA setahun mencapai Rp 800 miliar. Per juli 2023 sebanyak 1,6 juta peserta JKA. Sedangkan 2,7 juta warga Aceh masuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) dari JKN.
Dengan total 5,3 juta penduduk Aceh, 80 persen pemerintah menanggung premi bagi masyarakat baik JKA dan PBI JKN. Ini bukti komitmen Pemprov Aceh memprioritaskan kesejahteraan warga melalui pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
“Aceh juga meraih penghargaan Universal Health Coverage (UHC), artinya pelayanan kesehatan bagi warga Aceh sudah terjamin,”jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membidangi kesehatan Fahlevi Kirani menilai program JKA dapat menurunkan beban hidup warga Aceh.
Fahlevi juga mengapresiasi peningkatan layanan digital BPJS dan komitmen Pemprov Aceh melanjutkan JKA.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh dr. Neni Fajar mengatakan BPJS Kesehatan tengah fokus pada transformasi layanan dengan tiga aspek yaitu mudah, cepat, dan setara.
Upaya ini mencakup pemanfaatan KTP untuk pelayanan, antrean online melalui aplikasi Mobile JKN, dan waktu antrean yang lebih singkat.
Sistem kepesertaan BPJS Kesehatan mencakup beberapa kategori, yaitu Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) yang menjangkau masyarakat miskin, di mana iuran mereka ditanggung oleh Pemerintah Pusat melalui APBN.
Selain itu, terdapat juga Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBD, yang merujuk kepada peserta JKN yang iurannya ditanggung oleh Pemerintah Daerah melalui APBD.
Kemudian, ada kategori Pekerja Penerima Upah (PPU) yang melibatkan peserta JKN seperti PNS, TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri termasuk perusahaan/badan usaha. Iuran mereka dibiayai oleh pemberi kerja serta peserta yang bersangkutan. Terakhir, ada Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, di mana iuran mereka ditanggung sendiri.
Skema ini mencerminkan semangat gotong royong dalam memastikan akses pelayanan kesehatan bagi semua warga Indonesia.
“Dengan iuran jaminan kesehatan yang terhimpun dari berbagai sumber atau segmen peserta, yang sehat membantu yang sakit , yang muda membantu yang tua, yang kaya membantu yang miskin, ini lah bentuk gotong royong masyarakat Indonesia untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” jelas Neni.
Asmaul Husna (45), peserta kategori pekerja penerima upah (PPU) BPJS Kesehatan, mengatakan iurannya dibayarkan oleh perusahaan serta dipotong dari gajinya.
Selama menjadi peserta BPJS, Husna belum pernah menggunakan layanan BPJS, selama ini kondisinya masih sehat. Namun Dia tetap ikhlas setiap bulannya dipotong untuk membayar iuran tersebut.
Husna menilai bahwa program ini memberikan dampak positif terhadap semangat gotong royong dan solidaritas masyarakat.
“Meskipun belum pernah klaim, saya merasa aman, dan tidak merasa rugi jika sebagian penghasilan digunakan untuk bayar iuran JKN, tentu iuran ini dapat digunakan oleh orang lain,” ucapnya.
Sejak 2008 hingga 2022, dana otonomi khusus kepada Aceh sebesar dua persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional. Namun, pada 2023 hingga 2027, proporsi tersebut berubah menjadi satu persen dari total DAU nasional.
Dengan demikian, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) akan mengalami pengurangan hal ini memengaruhi pelaksanaan program JKA.
Warga Aceh menaruh harapan besar pada kelanjutan program JKA. Program ini menjadi contoh nyata komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. (*)