Kamis, September 19, 2024
BerandaDirektur JaDI Aceh: Terkait Komisioner KIP Aceh Utara, SK KPU Dapat Dibatalkan

Direktur JaDI Aceh: Terkait Komisioner KIP Aceh Utara, SK KPU Dapat Dibatalkan

Jakarta (Waspada Aceh) – SK Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara yang dikeluarkan oleh KPU RI dapat dibatalkan, kata Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, SH, ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam persidangan, Selasa (30/10/2018) di PTUN Jakarta.

Ridwan Hadi menyebutkan alasannya karena ada salah satu komisioner KIP Aceh Utara yang dinyatakan lulus, tidak mengantongi surat rekomendasi dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) pada saat mendaftar.

Ridwan Hadi, mengemukakan kesaksiannya itu dalam perkara gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) yang diajukan salah seorang calon peserta KIP Kabupaten Aceh Aceh.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua, DR Nasrifal, SH, MH, serta dua hakim lain, yakni Joko Setiono, SH, MH dan Sutiyono, SH, MH, dimulai pukul 13.17 WIB dihadiri oleh Penggugat, Agustiar, didampingi kuasa hukumnya, J.Kamal Farza, serta kuasa hukum tergugat (KPU) serta kuasa hukum tergugat intervensi.

Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, SH
Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, SH.
Kuasa Hukum Penggugat, J Kamal Farza. (Foto/Ist)
Kuasa Hukum Penggugat, J Kamal Farza. (Foto/Ist)

Dalam keterangannya, Ridwan Hadi yang juga mantan penyelenggara pemilihan umum selama 15 tahun di Aceh ini, menjelaskan secara rinci proses rekrutmen penyelenggara Pemilu di provinsi Aceh.

Menurutnya, proses perekrutan di KIP kini kembali menggunakan UUPA dan diperjelas di dalam qanun.  Hal itu sesuai dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang sebelumnya diajukan judicial review oleh perwakilan masyarakat.

“Sesuai putusan MK, proses rekrutmen KIP kini kembali menggunakan UUPA dan qanun No 6 tahun 2016.  Namun sepanjang tidak diatur dalam keduanya, maka akan mengikuti aturan secara nasional, yakni UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu,” terangnya.

Ridwan Hadi juga menjelaskan bahwa ada sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi oleh setiap calon untuk menjadi komisioner.  Termasuk calon dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), yakni harus berhenti sementara sebelum dilantik menjadi komisioner.

Hal itu menurut Ridwan, tidak tercantum dalam UUPA dan qanun Aceh.  Oleh karena itu harus merujuk kepada UU Nomor 7 tahun 2017 dan PKPU nomor 7 tahun 2018.  Aturan ini juga merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Dimana pada Bagian Ketiga, Pemberhentian Sementara dan Pengaktifan Kembali, yakni pada paragraf 1 Pemberhentian Sementara Pasal 276 PNS diberhentikan sementara, apabila: a. diangkat menjadi pejabat negara; b. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; atau c. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

Saat dicecar oleh kuasa hukum penggugat, terkait adanya seorang PNS yang menjadi komisioner KIP di Kabupaten Aceh Utara, Ridwan Hadi yang mantan anggota dan Ketua KIP Provinsi Aceh ini mengatakan tidak dibenarkan PNS aktif menjadi komisioner.

“Tidak dibenarkan PNS aktif menjadi komisioner.  Oleh karena itu, sebelum diangkat atau ditetapkan, dirinya harus berhenti sementara dari PNS.  Serta tidak lagi boleh mendapat apapun penghasilan dari PNS,”ujar Ridwan.

Menilai dari aturan yang ada, sambung Ridwan Hadi, seharusnya calon komisioner dari PNS mestinya sudah berhenti sementara setelah terpilih. Makna terpilih menurutnya adalah saat nama peserta telah diumumkan sesuai peringkat nilai yang diputuskan oleh Pleno yang dilakukan DPR Aceh maupun DPRK melalui komisi terkait.

“Jadi calon komisioner KIP harus sudah berhenti sementara sebelum ditetapkan SK nya oleh KPU RI.  Tetapi dia harus sudah mendapat rekomendasi dari PPK sejak awal pendaftaran,” terang saksi ahli di hadapan majelis hakim PTUN Jakarta.

Sementara itu, kuasa hukum penggugat, J Kamal Farza mengatakan, gugatan pihaknya tetap fokus pada syarat yang harus dipenuhi seorang komisioner KIP termasuk dari unsur PNS.  Sebab ada salah seorang komisioner KIP Aceh Utara yang tidak memasukkan surat rekomendasi dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai dengan PKPU Nomor 7 tahun 2018.

“Faktanya, salah seorang komisioner KIP Aceh Utara tidak mengantongi rekomendasi dari Pejabat Pembina Kepegawaian sejak mendaftar.  Bahkan hingga dilantik tanggal 12 Juli 2018 oleh Bupati Aceh Utara, dia belum mengantongi izin tersebut dan belum diberhentikan sementara.  Oleh karena itu kita meminta KPU membatalkan SK komisioner dimaskud, karena melanggar aturan yang berlaku,” tegas Kamal Farza.

Selain itu, seorang lagi komisioner KIP Aceh Utara, juga terindikasi punya hubungan suami istri sesama penyelenggara pemilu.  Sebab menurut keterangan ahli, lembaga yang menjadi penyelenggara Pemilu adalah KPU, Bawaslu dan DKPP.

Itu belum lagi jika merujuk pada Peraturan Kehormatan Penyelenggara Pemilhan Umum Republik Indonesia, Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, serta Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Repubik Indonesia, Nomor 317/KPU/VI/2016, tentang pelaksanaan pleno bagi anggota KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota.

Terkait punya hubungan suami istri sesama penyelenggara Pemilu, J Kamal Farza mengatakan, salah seorang komisioner punya hubungan perkawinan dengan seorang PNS di sekretariat KIP Aceh Utara. Padahal menurut ahli dalam keterangannya, yang dimaksud dengan sebuah lembaga, tentu adanya komisoner dan sekretariat.

Berdasarkan kesepakatan bersama, akhirnya sidang ditunda dan akan dilanjutkan 2 minggu ke depan dengan agenda penyerahan atau penyempurnaan bukti dan saksi terakhir untuk para pihak. (Ria)

BERITA TERKINI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER