Jakarta (Waspada Aceh) – Diskusi “Rambu Pemberitaan Media di Indonesia” Kamis (19/11/2020), berlangsung selama tiga jam di Tebet Barat Dalam 3, Jakarta Selatan. Para wartawan www.voi.id dan www.era.id, diskusi bersama Kamsul Hasan, pengurus PWI Pusat, membahas tentang perkembangan platform media dan hukum yang mengaturnya.
Kamsul yang juga jurnalis senior ini mengatakan, Indonesia setidaknya memiliki tiga undang-undang yang mengatur media atau proses komunikasi. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berinduk pada Pasal 28 UUD 1945 naskah asli. Penanggung jawab perusahaan pers bila melanggar Pasal 5 ayat (1), ayat (2) atau Pasal 13, diancam pidana denda maksimal Rp500 juta, dan tidak ada ancaman pidana badan.
Kata Kamsul, Berbeda dengan UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. UU ini lahir setelah Pasal 28 UUD 1945 diamandemen. Itu sebabnya pelanggaran terhadap Pasal 36 ayat (5) atau ayat (6) ancamannya pada Pasal 57 terdapat pidana penjara 5 tahun.
Lain lagi dengan media sosial, media yang tidak memenuhi UU Pers, penyelesaian sengketanya menggunakan UU Nomor 11 tahun 2008 Jo, UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE), tambah penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI tersebut.
Menurut Kamsul, meski sudah diatur dengan UU di atas, namun ada dua hal yang memerlukan perhatian khusus karena diatur oleh undang-undang khusus, yaitu pornografi dan identitas anak berhadapan dengan hukum.
Baik UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi maupun UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), merupakan UU yang Lex Specialis karena itu akan diutamakan penerapan pada platform media apa pun, ujarnya.
Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jakarta ini mengatakan, apalagi UU Pornografi bersifat delik umum atau delik biasa, sehingga tidak dibutuhkan pengaduan khusus untuk menjalankan atau menegakkan peraturan ini.
“Terkait definisi pornografi kita bisa membaca pada Pasal 4 ayat (1) dan jasa pornografi di Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi, berikut dengan ancamannya pada pasal terkait,” lanjutnya.
Wartawan, kata Kamsul, bukan tidak boleh memberitakan kasus anak berhadapan dengan hukum. UU SPPA, hanya melarang membuka identitas terkait anak yang berhadapan dengan masalah hukum.
“Rumusannya ada pada Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU SPPA, sedangkan ancamannya pada Pasal 97. Terkait ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp500 juta, Dewan Pers berusaha melakukan langkah preventif membuat Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA),” kata Kamsul yang juga anggota Komisi Kompetensi wartawan PWI tersebut.
Menurutnya, bila wartawan dan perusahaan pers patuh pada PPRA, pasti terhindar dari UU SPPA. Sebab itu PPRA menjadi sangat penting dan wartawan harus meninggalkan definisi anak pada Pasal 5 KEJ karena sudah usang, katanya.
“Pasal 5 KEJ itu bersumber dari KUHP, peninggalan Belanda. Pasca Pasal 28 UUD 1945 dan lahir Pasal 28 B menjadi payung hukum perlindungan anak. Kita perlu memahami perubahan pasal ini,” ujar Kamsul.
Kamsul menyebutkan, sejak itu lahir UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Kedua UU hasil reformasi ini mendefinisikan anak adalah mereka yang belum genap 18 tahun.
“Alasan itulah yang menyebabkan kita tinggalkan definisi anak pada Pasal 5 KEJ dan beralih ke PPRA. Meski PPRA sifatnya pedoman tetapi memiliki konsekuensi hukum bila dilaporkan sebagai pelanggaran UU SPPA oleh pihak korban pemberitaan,” tegasnya.
Akhirnya, Kamsul Hasan mengutip Pasal 78 ayat (1) ke tiga KUHP yang mengatur kedaluarsa tuntutan pidana. Pidana yang diancam di atas tiga tahun, kedaluarsa setelah 12 tahun. (Ris)