Jakarta (Waspada Aceh) – Duduk melingkari meja kayu coklat berbentuk oval, enam remaja itu terlihat tenang. Tak seperti biasanya, pada Jumat pagi (17/7/2020), mereka bertemu dengan orang nomor satu di Pemerintahan Aceh.
Walau tak terlihat senyuman, karena masker medis yang menutupi wajah mereka, tapi gerak gerik para remaja itu tampak semangat. Harapan mereka, ingin segera sampai ke kampung halaman.
Keenam nelayan anak di bawah umur ini, baru dipulangkan ke tanah air dari Thailand. Setibanya di Jakarta, mereka diajak ngobrol dengan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, di ruang rapat lantai 2 Mess Aceh Indramayu, Jakarta.
Satu persatu mereka memperkenalkan diri. Ikbal, 16, asal Kampung Leugeu Baru, Peureulak, Aceh Timur, yang duduk paling depan memulai menyebutkan namanya.
Lalu, diteruskan Mawardi, 16, asal kampung Matang Bungong, Idi Rayeuk, Aceh Timur, Abdul Aziz, 16, asal Paya Seungat, Peureulak Barat, Aceh Timur.
Berikutnya, giliran Mustafa, 18, asal Idi Cut, Aceh Timur, Hamdan, 17, Peudawa Rayeuk, dan terakhir M Israkil Kasta, 17, asal Pulo Blang Mangat, Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Sementara Mawardi yang ditangkap petugas keamanan Thailand bersama 32 nelayan lainnya di Perairan Andaman, pada 21 Januari 2020, dengan Kapal Motor (KM) Perkasa Mahera dan Vothus menceritakan kisahnya.
“Kami ditangkap saat hendak mau jemput boat kecil yang mengalami kerusakan mesin, hingga dibawa arus laut memasuki wilayah perairan laut Thailand,” ujarnya.
Apalagi, yang di kapal kecil tersebut merupakan adik kandung sang pawang di kapal tempatnya bernaung. Sehingga berinisiatif untuk membantu menariknya. “Padahal saat itu kami sudah mau pulang ke darat. Namun karena dihubungi dengan telek, kami balik lagi,” katanya.
Karena kejadian itu, mereka pun diamankan oleh petugas, karena sudah melewati perbatasan wilayah negara Thailand. “Padahal hanya 2 mil boat itu lewat ke perairan mereka,” kata Mawardi yang saat itu ditangkap sekitar pukul 06.00 WIB pagi.
Mawardi bercerita, selama proses penahanan di Phang Ngah hingga persidangan, awalnya mereka dicampur dengan orang dewasa. “Kemudian kami bertiga yang masih anak-anak, dipindahkan ke tempat khusus anak,” sebut Mawardi.
Lain lagi dengan Musfata, lelaki yatim piatu ini diamankan pada 10 Maret 2020 bersama 23 nelayan dengan menggunakan KM Tuah Sulthan Baru, yang mengalami kerusakan mesin kapal mereka di tengah laut.
“Jadi malam itu mesin kapal rusak, telek juga rusak. Sehingga kita hanyut tiga hari tiga malam, dan masuk ke wilayah mereka (Thailand) tidak terlalu jauh, sekitar 20 mil saja,” kata Mustafa.
Namun, yang membuat mereka merasa bersalah adalah, jaring pukat yang dilabuhkan kapal mereka posisinya masih di dalam air laut. Sehingga mereka tidak bisa berbicara banyak.
“Di situlah salah kita sedikit. Waktu itu jaring pukatnya dalam air belum sempat diangkat, mesin boat sudah rusak. Kemudian saat itulah kami ditangkap, sekitar pukul 8 malam,” ujarnya.
Padahal tambahnya, hasil tangkapan mereka tidak banyak. Meski pun sudah menjelaskan bahwa mereka terbawa hanyut karena mesin perahu mereka rusak, namun apa dikata pihak hukum kelautan Thailand harus tetap menjalankan tugas mereka.
Sebelum dibawa ke kantor polisi di Phang Ngah, Mustafa berkisah, mereka terlebih dahulu diminta mengisi data-data nama mereka secara lengkap. Malam itu, dia bersama dua anak di bawah umur lainnya masih bersama puluhan ABK.
“Namun, besoknya kita bertiga dipisahkan dan dibawa ke Phuket, lebih kurang 25 hari, kemudian dibawa ke pengadilan untuk persidangan,” katanya.
Dalam persidangan itu, dia mengetahui nelayan lainnya dihukum 1 tahun penjara. Sedangkan Musfata dan dua rekan sebayanya tidak dihukum, karena masih di bawah umur.
Mustafa melanjutkan, setelah mengikuti persidangan, dia bersama dua anak lainnya dibawa ke tempat tahanan semula, hampir dua bulan dengan makan seadanya. Mereka sempat berpidah lagi ke tempat lain, yakni ke Phang Nga.
“Di sanalah kami bertemua pula dengan tiga ABK lainnya yang seumuran kami, dari kapal KM Perkasa Mahera,” kata dia.
Mawardi maupun Mustafa bisa bernafa lega mencium udara Jakarta saat keluar dari pintu pesawat Garuda. Dia dan keenam ABK di bawah umur tak dapat menahan harunya.
Di hadapan Plt Gubernur Aceh, keenam ABK ini mengaku menyesal dan tidak ingin melaut lagi. Penyesalan tersebut menjadi lucu karena diucapkan serentak dan membuat semua yang berada di dalam ruangan tertawa.
“Kami tidak ingin melaut lagi,” kata mereka serempak menjawab pertanyaan Plt Gubernur Aceh.
Mawardi beserta kelima ABK anak di bawah umur berharap, mereka masih punya harapan baru ketika sampai di Aceh. Mereka tak ingin melaut lagi, tapi ingin melanjutkan sekolah mereka lagi. Hampir kesemua anak ini putus sekolah. Mereka hanya menyelesaikan Sekolah Dasar (SD).
“Cuma, seandainya ada kesempatan untuk sekolahan lagi, dan pemerintah mau membantu agar kami bisa sekolah, kamu semua mau sekolah lagi,” kata Mawardi. Dia bercita-cita untuk menjadi PMK, pasukan yang bertugas memadamkan kebakaran.
Mereka bersyukur dan berterimakasih kepada pihak yang telah membantu pemulangan ini, terutama Pemerintah Aceh dan Pusat. “Kita juga berterimakasih kepada bapak Plt Gubernur, dan pihak lainnya yang telah membantu kami,” ujarnya. (Ria)