Banda Aceh (Waspada Aceh) – Lima puluh organisasi masyarakat sipil di Aceh mengirimkan surat dukungan untuk pemberian amnesti kepada Dr. Saiful Mahdi, dosen di Universitas Syiah Kuala (USK), yang menjalani vonis Pengadilan Negeri Banda Aceh terkait kasus pencemaran nama baik.
Surat yang ditujukan kepada Presiden Jokowi tersebut dikirimkan pada hari Rabu (15/9/2021). Pengajuan permohonan amnesti ini merupakan bentuk keprihatinan masyarakat sipil atas pemenjaraan Saiful Mahdi, tepat di Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) Aceh, 2 September 2021.
Seperti yang diketahui, Saiful Mahdi dilaporkan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah menulis pesan di grup internal WhatsApp “UnsyiahKITA.” Saiful Mahdi di grup itu mengeritik proses penerimaan CPNS baru di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala tahun 2018.
“Selama ini kami mengenal Dr. Saiful Mahdi sebagai akademisi yang berdedikasi terhadap perdamaian Aceh serta pembangunan Aceh pasca tsunami,” ujar Riswati, Direktur Flower Aceh mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Aceh.
Ia menuturkan pemenjaraan terhadap Saiful Mahdi adalah kerugian besar bagi semua.
Dia mengatakan, surat dukungan menyatakan bahwa diskusi dan saling kritik di dalam lingkungan kampus seharusnya dapat diselesaikan di internal kampus.
Surat amnesti yang juga didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh dan Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan Aceh (LBH – JKA) itu menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan bahwa implementasi UU ITE perlu menjunjung tinggi keadilan.
Karenanya, keputusan hukum terhadap kritik Saiful Mahdi tidak sejalan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri.
Dalam SKB tersebut, Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) terutama dalam huruf c, f, dan k, jelas menunjukkan bahwa seharusnya tidak ada unsur pencemaran nama baik atau fitnah apapun yang terpenuhi dan dapat dipakai untuk pemidanaan terhadap Saiful Mahdi.
“Korban sebagai pelapor harus perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ucapnya.
Kemudian dia menyebutkan, berdasarkan pedoman yang ada, bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas. Seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup sekantor, grup kampus atau institusi pendidikan yang dalam konteks kasus ini sebuah whatsapp grup yang terbatas “UnsyiahKITA.” diikuti sekitar 100-an dosen dan karyawan kampus Universitas Syiah Kuala.
Menurut Riswati, vonis Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi yang diperkuat oleh Mahkamah Agung terhadap Saiful Mahdi secara terang-benderang bukan hanya melukai rasa keadilan, tapi juga membahayakan kepastian hukum. Karena menurutnya vonis serupa dapat menimpa siapa saja karena ukuran perbuatan pidana yang dilarang tidak jelas.
Pemidanaan terhadap Saiful Mahdi, ucap Riswati, juga bisa berdampak kepada mahasiswa dan akademisi untuk memilih diam dalam melihat dan mengkritisi ketidakpatutan di sekitar mereka.
“Melalui surat tersebut, atas dasar kemanusiaan, kami mohon kemurahan hati presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Pemenjaraan seorang dosen dengan kepakaran yang diakui di bidangnya serta berkomitmen tinggi terhadap kejujuran dan kemanusiaan adalah kerugian bagi kita semua,” ucap Riswati.
Adapun organisasi masyarakat sipil di Aceh yang mendukung amnesti, ucap Riswati, antara lain Aceh Institute, Flower Aceh, Forum LSM Aceh, Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak Aceh), Katahati Institute, Koalisi Advokasi dan Pemantauan Hak Anak (KAPHA), Koalisi NGO HAM Aceh, Kontras Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (Mata Aceh), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan Aceh (LBH – JKA), South Aceh Institute, Walhi Aceh, dan forum lainnya.
(Kia Rukiah)