Jakarta (Waspada Aceh) – Wali Nanggroe Aceh Tgk. Malik Mahmud Al Haythar menyerahkan data 5.000 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh kepada Pemerintah Pusat melalui Menkopolhukam Mahfud MD, Kamis (2/3/2022) di Jakarta.
Data tersebut bersumber dari rekapitulasi investigasi yang telah dimbil pernyataan langsung oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
“Ini merupakan pertemuan yang kedua Wali Nanggroe dengan Menkopolhukam pasca pengakuan presiden terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diumumkan di Istana Negara, 11 Januari lalu,” terang Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe, M. Nasir Syamaun.
Pada pertemuan dengan Menkopolhukam kali ini, Wali Nanggroe didamping Ketua DPRA Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yahya, Ketua Komisi Kebeneran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya didampingi Yuliati, Staf Khusus Wali Nanggroe H. Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak, Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man, dan M. Raviq, serta Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe M. Nasir Syamaun.
“Kita minta segera ada tindaklanjut dari negara terhadap tiga kasus yang telah ada pengakuan dari presiden, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh di masa lalu,” kata Wali Nanggroe.
Hingga saat ini ada 5000 kasus yang telah dikumpulkan oleh KKR Aceh. Di luar 5000 itu, masih ada banyak lagi kasus-kasus yang sedang dikumpulkan datanya.
Kemudian ada kasus pelanggaran HAM lain pasca damai, misalnya kasus pembantaian di Atu Lintang, Takengon.
Kepada Mahfud MD, Wali Nanggroe menceritakan, pasca kasus Atu Lintang terjadi, ia turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang semakin memanas. “Alhamdulillah, meskipun suasana di lapangan saat itu sangat panas, kita masih bisa mempertahankan perdamaian Aceh,” kata Wali Nanggroe.
“Kita sangat komit dengan perdamaian ini, dan kita juga ingin Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA,” tambah Wali Nanggroe.
Pada kesempatan itu, Ketua DPRA Pon Yahya juga menyerahkan surat tembusan DPRA kepada Presiden, terkait program penguatan perdamaian Aceh, khususnya poin 3.2.5 MoU Helsinki, yang diantaranya memuat alokasi tanah bagi para mantan kombatan GAM, dan alokasi tanah, pekerjaan serta jaminan sosial bagi tapol/napol GAM.
Sementara itu, Abu Razak yang merupakan mantan Panglima Operasi GAM semasa konflik menyampaikan, pihaknya tetap komit dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu (menjaga stabilitas mantan kombatan GAM) bukan perkara mudah,” kata Abu Razak.
Hingga saat ini, tambah Abu Razak, pihaknya terus mendapat desakan-desakan di lapangan, terkait implementasi secara menyeluruh butir-butir perjanjian damai Aceh, dan pasal-pasal dalam UUPA.
Bahkan, karena implementasi perdamaian Aceh tidak tuntas meskipun telah memasuki usia 17 tahun, pihaknya mendapat banyak tuduhan dari para mantan kombatan GAM. “Kami minta agar poin poin MoU Helsinki harus segera diselesaikan. Kami terus mendapat tekanan dari lapangan,” kata Abu Razak.
Selain itu, juga ada tanggungjawab lain yang diharus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang saat ini telah beranjak dewasa, yang ingin menempuh pendidikan, atau yang sedang menempuh pendidikan. “Mereka juga bertanya kepada kami tentang keberlanjutan perdamaian seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA.
Sementara terkait regulasi-regulasi mengenai kekhususan dan keistimewaan Aceh, kepada Mahfud MD, Ampon mengatakan bahwa tidak semua kementerian memahami kewenangan Aceh.
Misalnya, mengenai Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang perizinannya harus ke Kementerian, padahal sudah diatur jelas dalam UUPA bahwa itu merupakan kewenangan Aceh.
Menanggapi penyampaian dari delegasi Aceh, mengaku akan mengakomodir semua laporan-laporan yang disampaikan, dan menjadi catatan bagi dirinya sebagai Menkopolhukam, untuk kemudian segera melapor kepada Presiden Jokowi..(*)