Yogyakarta (Waspada Aceh) – Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Al Haythar secara khusus diundang oleh Prorgam Studi (Prodi) Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta untuk menyampaikan kuliah umum.
Pada kesempatan tersebut, di hadapan ratusan mahasiswa UII, khususnya dari Prodi Hubungan Internasional menyampaikan orasi ilimiah mengenai jalan panjang Damai Aceh.
Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe M. Nasir Syamaun, MPA yang turut menghadiri acara tersebut mengatakan, Rabu (28/9/2022), dalam penyampaiannya, Wali Nanggroe memaparkan secara detail awal mula konflik Aceh, hingga upaya-upaya yang ditempuh hingga akhirnya terjadi kesepatakan damai melalui penandantanganan MoU Helsinki di Finlandia 2005 silam.
“Faktor utama konflik Aceh adalah ketidakadilan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. Padahal Aceh adalah modal perjuangan kemerdekaan Indonesia,” kata Wali Nanggroe menyebutkan salahsatu poin mengapa Aceh mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Selain itu, Aceh juga kaya akan sumberdaya alam, ragam adat budaya dan tatanan sosial yang berakar pada ajaran Islam, yang telah dieksploitasi dan diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Indonesia ketika itu.
“Keadaan politik, ekonomi dan sosial di Aceh sejak tahun 1945 hingga 1976 berada dalam kondisi memperihatinkan,” kata Wali Nanggroe dalam kuliah umum yang turut dihadiri civitas akademik UII tersebut.
Hal itu kemudian mendorong masyarakat Aceh melakukan perjuangan perlawanan terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru yang diwujudkan dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perjuangan itu, diupayakan secara terus menerus, baik melalui perjuangan bersenjata dan perjuangan melalui negosiasi dan perundingan. Perdamaian yang kini diraih selama 17 tahun lamanya merupakan cara kedua, yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dan GAM dalam menyelesaikan konflik Aceh.
Konflik Aceh akhirnya diselesaikan secara damai dan menjadi pintu gerbang membangun Aceh yang damai, adil dan bermartabat. “Penyelesaian konflik Aceh melalui meja perundingan merupakan jalan panjang dan terjal,” tegas Wali Nanggroe.
MoU Helsinki merupakan titik akhir dari sejumlah perundingan melelahkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu GAM dan Pemerintah RI.
Perundingan, kata mantan Perdana Menteri GAM tersebut telah dimulai sejak tahun 2000 di Jenawa difasilitasi oleh HDC (Hendry Dunant Centre). Kemudian pada 2022 perundingan lain di Tokyo-Jepang.
Dalam perundingan yang cukup alot selama tiga hari di Tokyo, akhirnya mengalami kegagalan total, dikarenakan delegasi Indonesia menuntut pihak GAM menghentikan perjuangannya dengan membubarkan GAM dan menyerahkan senjatanya.
“Tuntutan ini ditolak seluruhnya oleh pihak GAM, dan sejak itu pula operasi militer besar-besaran dilakukan Pemerintah Indonesia di Aceh. Pihak internasional tidak diberikan akses untuk memantau dan mengetahui keadaan Aceh yang sebenarnya.”
Terjadi Gempa dan Tsunami di Aceh
Pihak internasional kemudian mengajak Pemerintan Indonesia dan GAM melanjutkan perundingan untuk menyelesaikan konflik Aceh, dan pihak internasional akan mudah dan aman dalam memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh.
Kedua belah pihak bersepakat melanjutkan perundingan di Helsinki Finlandia, yang difasilitasi oleh CMI (Crisis Management Initiative) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
“Kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM dituangkan dalam MoU Helsinki,” kata Wali Nanggroe yang saat itu menjadi pihak yang menandatangani MoU Helsinki dari pihak GAM.
Selanjutnya, pelaksanaan MoU Helsinki diawasi dan dimonitor oleh Uni Eropa dengan melibatkan empat negara ASEAN yaitu; Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Negara-negara tersebut menjalankan tugas memastikan keamanan di Aceh dan mengawasi implementasi butir-butir MoU Helsinki. Mereka tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM).
Kata Wali Nanggroe, Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI.
Pertama. Membangun kepercayaan kedua belah pihak, dimana masing-masing pihak memiliki kesadaran sama, bahwa perundingan damai adalah jalan terbaik dalam penyelesaian konflik Aceh.
Kedua, membangun kepercayaan terhadap fasilitator dari lembaga internasional (CMI) yang memfasilitasi perundingan antara GAM dan Pemerintah RI.
Dalam perundingan disetujui bahwa Aceh diberikan kewenangan khusus dalam mengelola pemerintahan sendiri, kecuali dalam enam hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, moneter fiskal, pertahanan, keamanan, yudisial dan sebagian urusan agama.
“Kewenangan khusus Aceh yang bersifat otonomi asimetris berbeda dengan otonomi daerah pada provinsi lain di Indonesia. Kewenangan khusus Aceh yang berasal dari butir-butir MoU Helsinki dituangkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” terang Wali Nanggroe.
Di akhir kuliah umum, Wali Nanggroe mengatakan, untuk mewujudkan kesepakatan damai dalam MoU Helsinki memerlukan proses, waktu.
“Kita semua meyakini bahwa damai, adil dan sejahtera akan terwujud secara berkelanjutan di Bumi Serambi Mekkah, bila kita berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya secara bersama-sama.” (*)