Senin, Mei 6, 2024
Google search engine
BerandaAcehWakil Ketua DPRA: Persoalan Kemiskinan di Aceh Dampak dari Pendidikan

Wakil Ketua DPRA: Persoalan Kemiskinan di Aceh Dampak dari Pendidikan

“Semua hanya mengejar infrastruktur, karena ada comitmen fee di situ. Sangat jarang program-program yang dialokasikan untuk pendidikan digunakan untuk kemajuan dari sisi pendidikan itu sendiri.”

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin mengatakan persoalan kemiskinan di Aceh terjadi akibat dampak dari faktor pendidikan.

Pendidikan lokomotif pembangunan. Pembangunan infrastruktur jika tidak dibarengi dengan sumber daya manusia, maka tidak bisa dikatakan satu daerah itu punya kemajuan,” kata Safaruddin di Blangpidie, Aceh Barat Daya, Jumat (2/4/2021).

Jika melihat dinamika sosial di Aceh saat ini, kata Safaruddin, persentase kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah dalam menjawab tantangan dari anggaran yang dimiliki Aceh saat ini, baik di APBA maupun APBK.

Jika dibandingkan dengan provinsi tetangga dengan anggaran Rp11 triliun yang jumlah penduduknya lebih kurang 14 juta jiwa, Aceh memiliki Rp16,9 triliun dengan penduduk 5 juta jiwa.

“Dalam nilai rata-rata nasional persentasenya termiskin di Sumatera. Jadi ini tantangan yang dimiliki pemerintahan di Aceh baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” jelasnya.

Anggaran otonomi khusus yang didapat Aceh saat ini, Safaruddin menjelaskan, pada 2022 akan dikurangi satu persen dari dua persen yang diterima dari dana alokasi umum (DAU) APBN.

Dana yang menurutnya merupakan “pil penenang” untuk Aceh itu juga akan berakhir dikucurkan pemerintah pusat pada 2027 mendatang. Jika dana otsus tidak ada lagi, maka APBA Aceh akan berkisar Rp9 triliun hingga Rp12 triliun.

“Bayangkan saja, Rp16,9 triliun itu Aceh tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan tantangan ekonomi, bagaimana kalau tinggal Rp9 triliun. Jadi selagi ada, maka harus manfaatkan dan dikelola dengan baik,” ungkapnya.

Jika tidak lagi memiliki Otsus, maka Aceh tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk tidak bisa meningkatkan sumber daya manusia. Sebab, sebagian besar APBA itu beban belanja rutinnya adalah gaji pegawai dan operasional para pejabat fungsional dan struktural.

“Jika tidak dilakukan perubahan pengelolaan anggaran, maka Aceh tidak akan mampu menjawab tantangan kemiskinan dan pengangguran,” ujar Safaruddin.

Safaruddin menyampaikan berbagai permasalahan pendidikan di Aceh, seperti masih ada penduduk Aceh yang belum mampu dan mau untuk menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi.

Kemudian, masih banyak perguruan tinggi yang belum terakreditasi, penguatan literasi Aceh belum merata, banyak perguruan tinggi belum menghasilkan lulusan kejuruan dengan kebutuhan peluang kerja, serta sejumlah persoalan lainnya.

Dalam hal memajukan pendidikan di Aceh, kata Safaruddin, sasaran alokasi anggaran 20 persen yang dianggarkan di APBN, APBA maupun di APBK saat ini hanya mengejar infrastruktur, bukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia, seperti peningkatan kapasitas para tenaga pendidik.

“Semua hanya mengejar infrastruktur, karena ada comitmen fee di situ. Sangat jarang program-program yang dialokasikan untuk pendidikan digunakan untuk kemajuan dari sisi pendidikan itu sendiri.”

“Alokasi untuk peningkatan kualitas pendidikan itu sangat minim. Sangat jarang kita lihat kebijakan pemerintah untuk pemberian bimtek kepada tenaga pendidik, padahal alokasi anggaran pendidikan itu besar sekali,” ungkapnya.

Safaruddin mengatakan dirinya yang pernah menjalankan tridharma perguruan tinggi di kampus Muhammadiyah Aceh Barat Daya akan berupaya untuk mendukung berbagai kebutuhan pendidikan di Aceh.

“Saya akan mengupayakan dukungan anggaran apa pun untuk kebutuhan pendidikan. Ini saya lakukan untuk menjawab tantangan ini, dengan harapan persoalan pendidikan dan ekonomi Aceh dapat adanya perubahan ke depan,” pungkas Safaruddin. (Ria-H)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER