Minggu, Juli 7, 2024
Google search engine
BerandaNasionalTragedi Kebakaran Rumah Hingga Tewasnya Wartawan di Sumut

Tragedi Kebakaran Rumah Hingga Tewasnya Wartawan di Sumut

Kebakaran itu kemudian dikaitkan dengan rangkaian pemberitaan oleh korban di media online sebelum peristiwa kebakaran itu terjadi.

Oleh: M. Syahrir

Tahun ini, 2024 tak ubahnya bingkai suram kemerdekaan pers yang diamanahkan UU No 40 tahun 1999. Dua peristiwa kebakaran rumah wartawan di Kabupaten Karo dan Labuhan Batu, Sumatera Utara, menjadi pertanda sejarah buruk perjalanan pers Indonesia di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo, jika tak diungkap secara tuntas dan transparan.

Pers nasional berkabung. Nuraninya tersentuh, nalurinya bergejolak bahkan menjurus pada sikap skeptis. Dua tragedi kebakaran rumah dua wartawan di Sumatera Utara ini cukup tragis, telah merenggut empat nyawa. Tapi hingga kini masih meninggalkan misteri; terbakar atau dibakar.

Jika terbakar akibat kelalaian pemilik rumah, bagaimana dengan rangkaian proses jurnalistik yang terjadi sebelum peristiwa kebakaran yang dialami korban? Sekali lagi, benarkah kelalaian murni?

Laporan-laporan di media menyebutkan, rumah wartawan media online Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu (40) yang berlokasi di Kabanjahe Kabupaten Karo, Kamis dinihari (27/6/2024) terbakar habis. Tragisnya, Rico bersama istrinya Efprida br. Ginting (48), anaknya Sudiinveseti Pasaribu (12) dan cucunya Loin Situngkir (3), turut terbakar di dalam rumah. Keempatnya tewas akibat kebakaran yang terjadi dinihari itu.

Asumsi dan alibi terhadap kasus kebakaran yang menewaskan Rico dan tiga anggota keluarganya pun terus berkembang. Kebakaran itu kemudian dikaitkan dengan rangkaian pemberitaan oleh korban di media online tentang judi online sebelum peristiwa kebakaran itu terjadi.

Rentetan pemberitaan judi di Karo ini seakan beririsan dengan peristiwa kebakaran rumah Rico. Namun hingga kini penyebab terjadinya peristiwa kebakaran ini masih dalam tahap penyelidikan dan belum disampaikan aparat kepolisian ke publik.

Di luar kasus kebakaran di Karo, persisnya dihari yang sama, Kamis dinihari (21/3/2024) atau berjarak 3 bulan 6 hari, rumah Junaidi Marpaung, wartawan media online Utama News anggota PWI Sumatera Utara di Kota Rantau Prapat Kabupaten Labuhan Batu terbakar habis. Untungnya, Junaidi Marpaung bersama anak istrinya berhasil selamat setelah menerobos kobaran api yang membakar rumahnya.

Asumsi dan alibi juga berkembang, malah bergeser pada keseriusan aparat kepolisian Polres Labuhan Batu yang terkesan ‘separoh hati’ mengungkapnya. Sebab sudah lebih tiga bulan sejak peristiwa kebakarannya itu, hingga kini belum diungkap ke publik.

PWI Sumatera Utara beraksi keras atas peristiwa kebakaran ini dan meminta Kapoldasu mengungkap fakta sebenarnya. Lagi-lagi pertanyaannya, terbakar atau dibakar?

AJI Medan, melalui Komite Keselamatan Jurnalis Sumatera Utara (KKJ Sumut) telah melakukan investigasi terhadap kasus ini. Mereka turun ke lapangan, melakukan wawancara kepada korban hingga mengikuti jejak digital di medsos facebook.

Dalam unggahannya tiga hari sebelum peristiwa kebakaran, korban mengupdate status pribadi di facebook-nya; “Hayo ngaku, bisnis harammu terganggu ya, makanya ngancam-ngancam di balik akun palsu.” Ditambah emotion tertawa disertai gambar kartun. Berselang kemudian korban melakukan siaran live di facebook-nya dan menyinggung kata narkoba. “Terganggu kau ya, mainanmu, narkobamu terganggu. Macam betul aja kau. Kau pikir enggak kucari juga kau. Kau tengok ya,” kata korban.

Akibat kebakaran itu, kini Junaidi Marpaung beserta anak istrinya terpaksa harus menumpang di rumah orangtuanya. Semua harta termasuk mobil pribadinya yang baru habis masa cicilan hangus terbakar. Beberapa hari lalu, Dandim 0209/LB menginisiasi pembangunan kembali rumah Junaidi Marpaung ditandai dengan peletakan batu pertama. Bantuan dari para pihak dan simpatisan ini setidaknya menjadi pemicu semangat yang bersangkutan untuk tetap menjalankan profesinya.

Terbakar atau Dibakar?

Terbakar? Dibakar? Judul tulisan ini dipantik Dahlan Iskan, wartawan senior pada edisi 1 Juli 2024 di jpnn.com. Pak Dis, panggilan akrab Dahlan Iskan menulis datar tapi tajam, faktual berdasarkan informasi, konfirmasi dan klarifikasi dari jejaring yang dimilikinya. Pantas jika Pak Dis menulis, akurasi data dan faktanya nyaris sempurna karena jejaringnya lengkap menyebar di seantero negeri.

Pak Dis tak menghakimi, tak juga menggiring opini. Dia hanya menyampaikan fakta dan konfirmasi lapangan. Jika ada rasa kecurigaan, sepertinya sah-sah saja. Kerja jurnalisme investigasi pun akan terus dilakukan Pak Dis bersama media lain untuk mengungkap fakta sebenarnya.

Tak Cuma Pak Dis, Dewan Pers pun, Selasa (2/7/2024) menggelar konferensi pers dan meminta Kapolri, Panglima TNI dan Pangdam membentuk tim untuk menyelidiki dan mengungkap secara adil dan imparsial. Tak hanya itu, Komnas HAM pun mulai tergelitik atas dasar ada indikasi ancaman bagi warga masyarakat dalam menyampaikan hak kebebasan berekpresi dan berpendapat.

Sebelumnya, organisasi profesi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) secara nasional maupun di tingkat Provinsi Sumatera Utara dan lembaga-lembaga profesi lain terus menindaklanjuti pemberitaan media online, TV dan cetak untuk menelusuri dan mengikuti perkembangan kasus ini.

Patriotisme Wartawan

Dua peristiwa kebakaran rumah wartawan ini benar-benar mengguncang nilai-nilai patriotisme para wartawan sebagai penjaga pilar demokrasi. Dua tahun lalu, bertepatan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Pebruari 2023 di Medan, Presiden RI Joko Widodo bersama tokoh-tokoh nasional seakan makin mengkukuhkan tagline HPN; “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat,” sebagai simbol kemerdekaan pers yang tentu saja membuat para wartawan makin bersemangat untuk memberitakan apa saja asalkan tetap mengaju pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Prinsip pemberitaan yang independen, bebas dan bertanggungjawab inilah yang menjadi kekuatan pers. Tak cuma itu, bak gayung bersambut, pada peringatan HPN 2024 di Jakarta, Presiden Jokowi juga memberi sinyal yang membanggakan bagi pers nasional; “Beritakan fakta apa adanya, tapi bukan mengada-ada, bukan asumsi-asumsi, bukan seolah-olah ada.”

Itulah nilai-nilai kenyamanan yang diberikan negara bagi profesi kewartawanan. Sikap profesional harus kita patrikan dalam diri saat melaksanakan aktivitas pers. Katanya, aktivitas jurnalistik dilindungi UU, kemerdekaan pers dijamin negara, termasuk kekhawatiran akan pembredelan. Pers bebas, namun harus bertanggung jawab.

Harus Diungkap Terang-benderang

Lantas, bagaimana dengan peristiwa kebakaran dua rumah wartawan di atas? Jika peristiwa kebakaran itu murni keteledoran atau kelalaian pemilik rumah, pemberitaannya biasa saja. Setidaknya atas nama wartawan kami berempati, bergotong-royong memberi bantuan untuk meringankan beban korban, karena peristiwa yang sama bisa saja terjadi kepada siapa saja, tak terkecuali wartawan.

Tapi, jika rumah dan wartawannya memang benar sengaja dibakar untuk membungkam pemberitaan, begitukah memperlakukan manusia yang berprofesi wartawan? Bukankah ada hak-hak publik yang bisa digunakan berdasarkan UU 40/1999 tentang Pers?

Begitu juga terhadap peristiwa kebakaran dua rumah di Karo dan Labuhan Batu, andai saja peristiwa ini bukan kelalaian murni tapi akibat dibakar dikarenakan adanya pemberitaan yang dianggap tidak memenuhi kaedah jurnalistik, termasuk adanya indikasi pemerasan ataupun peristiwa kriminal lainnya yang dilakukan wartawan, sudah seharusnya pihak-pihak yang keberatan dan dirugikan dapat menggunakan saluran sebagaimana diatur dalam UU No.40/1999 tentang Pers. Salah satunya mengadukan terkait pemberitaan itu ke Dewan Pers untuk ditindaklanjuti dan mendapatkan keadilan.

Harapan kami, dua peristiwa kebakaran itu murni kelalaian agar kami tak punya sakwasangka, meyakini ada jaminan dalam menegakkan kebebasan pers, sehingga tak lagi berasumsi apalagi bersikap skeptis.

Tapi, andaikan peristiwa kebakaran ini rangkaian dari pemberitaan, aparat kepolisian harus mengusutnya dan membawa para pelakunya untuk diadili agar kami percaya bahwa keadilan masih bisa ditegakkan kepada siapa pun.

Kita yang masih menjalankan tugas jurnalistik, tak perlu takut dan ragu menjalankan amanah profesi. Wartawan adalah profesi mulia. Walau berita baik kita dinanti, jangan lelah untuk mengeritisi, meski ada resiko. Profesi wartawan adalah profesi yang punya kode etik, punya marwah, berintegritas dan terhormat. Semoga. (*)

  • Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan Profesi Persatuan Wartawan Indonesia (DKP PWI) Sumatera Utara.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER