Jumat, April 19, 2024
Google search engine
BerandaTulisan FeatureTradisi Meugang di Aceh yang Tak Pernah Lekang

Tradisi Meugang di Aceh yang Tak Pernah Lekang

“Andai dalam suasana menjelang Ramadhan seperti ini, terdapat anak, menantu dan cucu yang tidak pulang menyinggahi rumah orang tuanya, ini dianggap sudah tak beradat”

——————-

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya.
Sepenggal bait pantun ini mencerminkan, betapa antar suku bangsa di republik ini satu sama lainnya memiliki perbedaan agama, bahasa, adat istiadat dan budaya serta tradisinya.

Atas dasar inilah mungkin pendahulu republik nusantara ini, memberi simbol “bhinneka tunggal ika”. Artinya bercerai-berai penduduknya di banyak nusa, tapi bersatu dalam NKRI.

Bersatu dalam keberagaman entitas tapi bersatu di bawah payung berlambang burung garuda.

Contohnya apa yang selama ini menjadi tradisi, tiga hari belakangan di Tanah Rencong (Aceh) ini, sungguh berbeda dengan provinsi lain di nusantara ini.

Aktivitas warganya tiga hari belakangan sibuk dengan tradisi hari meugang (uroe makmeugang). Orang Sunda menyebutnya hari mungguhan (makan enak bersama di atas hamparan daun pisang). Kalau orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebutnya punggahan.

Uroe makmeugang bagi orang Aceh boleh disebut hari khusus “pestapora santapan daging” secara besar-besaran. Tradisi ini seperti perhelaan ritual yang sangat mengental. Dianggap sebagai tradisi sakral dalam kehidupan sosial budaya warga provinsi bagian utara di ujung barat nusantara ini.

Sakral artinya suatu tradisi seperti sangat bersahaja dalam pesta santapan daging multi rasa. Padahal kari Aceh, resep nenek monyangnya ini, juga bagian dari santapan populer keseharian warga di sini. Begitu pun, terkesan suasana hari meugang ini tak boleh dilewatkan setiap menjelang bulan suci Ramadhan tiba.

Suasana tiga hari menyambut bulan suci lagi mulia, bulan agung dan bulan yang lebih baik dari seribu bulan ini, ditamsilkan sebagai hari dan bulan terbaik di jagad ini.

Sebagai bagian kekentalannya, orang Aceh menyebutnya: “Uroe got buleuen got, beumeutume pajoh leupek Mak peugot”. Maksudnya pada suasana hari baik bulan baik seperti ini setiap orang harus bisa mencicipi makanan dan gulai khas hasil buatan tangan ibunya sendiri.

Andai dalam suasana menjelang Ramadhan seperti ini, terdapat anak, menantu dan cucu yang tidak pulang menyinggahi rumah orang tuanya, ini dianggap sudah tak beradat. Walau statusnya sudah menjadi pejabat sekalipun.

Tak heran, pada masa suasana seperti ini warga Aceh di luar provinsi maupun di luar kabupaten berbondong-bondong pulang menyamperin orang tuanya di tanah kelahiran. Hari sakral ini diadatkan sebagai hari sungkeman menyongsong tibanya masa puasa satu bulan penuh.

Kita tahu, di republik kita ini hanya mengenal adanya tradisi mudik pada setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri saja. Namun sangat berbeda di Aceh. Musim mudiknya justru berlangsung dua kali. Menjelang puasa dan menjelang Idul Fitri, saban tahunnya. Kiranya jika disensus pekan ini, jumlah warga Aceh dipastikan bertambah.

Dalam suasana kebatinan seperti ini, puncaknya adalah meugang (makan daging) bersama sanak keluarga. Suasana ini memberikan simbol keakraban, riang gembira dan saling bercanda. Anak, cucu dan menantu dilarang saling membentak dan mencaki-maki.

Pada suasana ini, kucing dan anjingpun kebagian bongkahan daging. Tulang besar yang kurang bermanfaat diletakkan pada akar pohon sekitarnya sehingga menjadi santapan keong dan serangga.

Dalam kehidupan orang Aceh, pada hari meugang dan bulan puasa, dilarang keras melakukan proses perceraian pasangan suami isteri.

Masih dalam suasana meugang seperti ini, daging setumpuk lebih bernilai daripada sejuta uang. Artinya, jika anaknya tidak pulang untuk mencium tangan orang tuanya, namun hanya mengirim uang saja, maka anaknya itu dianggap melanggar adat dan melanggar adap sekaligus.

Begitu sakralnya ritual meugang di Aceh sudah terpatri dan mendarah daging dalam jiwanya secara turun temurun.

Era Aceh sebagai Negara Kerajaan Darussalam tempo doeloe, maka sang rajalah yang menalangi kebutuhan daging meugang. Kaum fakir miskin, orang sakit, cacat dan tunanetra, hanya menanti kiriman dari Daulat Tuwanku Raja.

Sayangnya penguasa dan orang kaya sekarang ini sudah tak berhati mulia menyantuni hamba laeh (tak mampu) seperti itu.

Kaum duafa sekarang ini terpaksa berjibaku mencari setumpuk daging meugang, jika tidak mendapatkan dagung maka bisa muncul “peperangan” di rumah.

Bagi pria Aceh jika tak mampu membawa pulang setumpuk daging walau harus berhutang ke sana ke mari untuk mendapatkannya, maka akan merasa hina di tengah kehidupan sosialnya.

Sebaliknya jika seorang pria berstatus penganten baru, bagi yang mampu harus menggotong kepala kerbau atau sapi sebagai persembahannya.

Begitu lah sakralnya hari meugang bagi masyarakat Aceh, yang hingga hari ini masih tetap berlaku. Kita bisa menyaksikan, di mana-mana banyak orang memotong lembu, sapi atau kerbau.

Ada yang memotong untuk dibagikan kepada anak yatim dan fakir miskin, ada yang memotong untuk dibagi-bagikan dalam suatu perkumpulan dan banyak pula yang memotong untuk menjual dagingnya. Pada hari meugang hampir semua keluarga membutuhkan daging, walau harus membelinya dengan harga mahal. Begitulah tradisi meugang di Aceh. (Adnan NS)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER