Sabtu, Juli 27, 2024
Google search engine
BerandaAcehTokoh Masyarakat Minta Polemik Plt Tiga Lembaga Istimewa Aceh Diakhiri

Tokoh Masyarakat Minta Polemik Plt Tiga Lembaga Istimewa Aceh Diakhiri

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sejumlah tokoh masyarakat Aceh bersama akademisi meminta agar polemik pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) di tiga lembaga istimewa Aceh, segera diakhiri.

Dalam dialog yang diadakan di Fakultas Hukum Unsyiah, Selasa (5/3/2019), para tokoh masyarakat mendorong semua komponen yang terlibat, baik eksekutif dalam hal ini Plt Gubernur Aceh dan para fungsionaris dan tokoh adat di Aceh, untuk duduk bersama memikirkan solusi atas masalah tersebut.

“Keduanya harus mau mencari solusi terbaik melalui langkah dialogis dan musyawarah mufakat dalam upaya mengakhiri polemik ini,” demikian bunyi rekomendasi dialog tersebut.

Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Kabiro Hukum Setda Aceh Dr. Amrizal J Prang, tokoh masyarakat yang juga mantan Menteri tahun 2011–2014, Azwar Abubakar, Ketua SC Mubes MAA, HM Daud Yoesoef, Koordinator Dewan Adat Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Tgk M Hasjim Usman, serta akademisi hukum Unsyiah Zainal Abidin.

Para narasumber memberi pandangannya masing-masing terkait polemik pengangkatan Plt di tiga lembaga, terutama Majelis Adat Aceh (MAA). Dalam kesempatan itu, Dr Amrizal J Prang selaku Kabiro Hukum Setda Aceh mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Plt Gubernur Aceh secara hukum sudah benar. Menurutnya hal itu merujuk Pasal 16 Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Struktur Organisasi dan Tata Kerja MAA.

Aturan itu, kata Amrizal, mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan ketua MAA yang belum diatur dalam Qanun ini. Pemilihan nantinya diatur dengan Keputusan Gubernur yang juga dikenal sebagai Peraturan Gubernur (Pergub).

“Dengan demikian, keberadaan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh yang mengatur mengenai tata cara pemilihan ketua MAA merupakan wujud pelaksanaan dari kewenangan yang diatribusikan oleh Qanun Provinsi NAD tersebut,” kata Amrizal.

Berbeda dengan Amrizal, Ketua SC Mubes Majelis Adat Aceh (MAA) HM Daud Yoesoef mengatakan bahwa Mubes MAA pada prinsipnya telah berjalan sesuai amanat perundang undangan. Baik Qanun Nomor 3 Tahun 2004, serta Peraturan Tata Tertib dan tradisi yang selama ini dilakukan MAA dalam melaksanakan musyawarah guna memilih ketua.

Daud juga menyebutkan bahwa MAA merupakan lembaga otonom dan mitra Pemerintah Daerah. “Konsekuensi yuridis (hukum)-nya, maka lembaga mitra yang satu tentunya tidak berwenang mengurus urusan rumah tangga lembaga mitra yang lainnya,” tegas Daud Yoesoef.

Hal serupa disampaikan Zainal Abidin selaku akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Unsyiah. Dia menyebut MAA bagian dari kekuasaan independen yang tunduk pada Wali Nanggroe.

Terkait perlunya Kepgub dalam aturan yang belakangan dijadikan sumber wewenang eksekutif, Zainal mengatakan, sampai saat ini aturan itu tak kunjung diterbitkan. Sementara, dalam kenyataannya tidak ada satu ketentuan pun yang memberi kewenangan kepada Plt Gubernur Aceh untuk mengangkat Plt Ketua Majelis Adat Aceh (MAA).

“Oleh karena tidak ada kewenangan tersebut, maka eksekutif tidak pula bisa menggunakan prinsip kebebasan bertindak (freisermessen atau discretionary power) untuk mengintervensi pengurus Majelis Adat Aceh (MAA),” tegasnya.

Pentingnya Mufakat

Menengahi kedua pendapat tadi, Azwar Abubakar, mewakili tokoh masyarakat mengatakan bahwa polemik pengangkatan Plt terhadap ketiga lembaga istimewa ini dapat segera diakhiri, sehingga Pemerintah Aceh dapat lebih fokus dan masif dalam melaksanakan perioritas pemerintahannya dalam mewujudkan visi Aceh Hebat.

“Pemerintah Aceh tentu punya banyak pekerjaan rumah tangga dalam mewujudkan kesejahteraan (welfare) masyarakat Aceh melalui berbagai program pembangunan yang sudah direncanakan,” kata Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Tahun 2011–2014 tersebut.

Untuk itu, ia menekankan bahwa sikap mengedepankan visi Aceh Hebat menjadi prasyarat mutlak. Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat di Aceh, termasuk para tokoh adat harus memprioritaskan perdamaian. Karenanya Azwar menyarankan kedua pihak berkenan duduk bersama untuk bermusyawarah.

“Aceh tidak akan akan dapat sejahtera jika berada dalam suasana gaduh, tidak kompak, dan saling curiga. Untuk itu saya mengajak semua pihak baik dari kalangan tokoh adat yang ada di Aceh maupun eksekutif (Plt Gubernur Aceh) agar selalu berkepala dingin dan mau saling membuka diri untuk membangun komunikasi,” tutup Azwar.

Kegiatan dialog tersebut dihadiri oleh sedikitnya 148 peserta yang berasal dari komponen masyarakat, tokoh adat, akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Aceh, praktisi hukum, sertta sejumlah utusan CSO yang konsen pada isu sejarah.

Selain itu kegiatan juga dihadiri beberapa instansi vertical, yaitu dari Kodam Iskandar Muda (IM), Polda Aceh, Kejaksaan Tinggi, Kementerian Pertahanan Wilayah Aceh, dan Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Aceh. (Fuadi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER