Meski kasus positif Corona atau COVID-19 di Provinsi Aceh trennya menurun, tapi warga didorong untuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan (Prokes), yakni memakai masker, mencuci tangan dan tetap menjaga jarak (3M).
“Kita akui tren kasus COVID-19 di Aceh menurun, tapi bukan berarti kesadaran masyarakat menurun pula untuk menerapkan prokes. Sebaliknya kita harus tetap mendorong masyarakat agar disiplin menjalankan prokes,” kata Saifullah Abdulgani atau SAG dalam acara Talk Show Harian Waspada, Senin siang (7/12/2020).
Pernyataan SAG itu untuk menjawab pertanyaan wartawan Harian Waspada di Banda Aceh, Aldin NL, yang melihat adanya kencenderungan pada masyarakat di Aceh akhir-akhir ini, mulai longgar menerapkan disiplin prokes, sejalan dengan tren menurun kasus positif COVID-19.
Sebagaimana laporan Waspadaaceh.com, sedikitnya 7.493 orang terjaring operasi yustisi yang dilaksanakan Satpol PP dan WH, Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda (IM), sejak awal September hingga minggu pertama Desember 2020. Warga terjaring karena melanggar protokol kesehatan (Prokes) di masa pandemi COVID-19.
Besarnya jumlah warga yang terjaring, mengindikasikan pelanggaran prokes COVID-19 di Aceh meningkat, khususnya di wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
“Jadi kita harus terus mengingatkan masyarakat agar tetap disiplin menerapkan prokes untuk mencegah ledakan kasus positif. Kita lakukan secara persuasif, dan bila masih tetap melanggar baru kita ambil tindakan sesuai hukum yang berlaku,” lanjut SAG dalam talk show bertema Trend Penanganan Pencegahan Pandemi COVID-19 di Aceh.
SAG menduga, penomena menurunnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan prokes, berkaitan dengan tingginya angka kesembuhan pasien Corona serta semakin rendahnya angka yang meninggal dunia.
“Pada awal munculnya Corona, warga mengambarkan akan terjadi seperdi di Wuhan. Masyarakat membayangkan, akan banyak jenazah yang masuk ke pemakaman. Sehingga kedisiplina warga terhadap prokes juga ketika itu masih sangat ketat,” kata SAG.
Namun, kata Jubir Satgas COVID-19 Aceh itu, saat ini setelah pandemi berjalan delapan bulan, ternyata banyak pasien COVID-19, setelah masuk rumah sakit mereka sembuh. “Ternyata yang sakit masuk rumah sakit atau isolasi mandiri, lalu sembuh lagi,” jelasnya.
Sekarang, kata SAG, masyarakat juga lebih khawatir menjalani isolasi di lokasi yang telah disediakan pemerintah. Mereka lebih memilih isolasi di rumah. “Indikasinya, hampir 100 persen tempat isolasi yang disediakan pemerintah tidak dipergunakan,” tegas Saifullah.
Bahkan, menurut SAG, penderita COVID-19 lebih cemas tidak bisa keluar rumah. Sementara penyakitnya yang parah dan akhirnya bisa meninggal, justeru tidak dikhawatirkan. “Mereka lebih khawatir tidak bisa keluar rumah, karena tidak bisa ngopi di warung,” lanjut SAG.
Perilaku itu, lanjut SAG yang juga Jubir Pemerintah Aceh ini, dikhawatirkan dapat menyebabkan serangan pandemi gelombang kedua yang bisa lebih parah. SAG mencontohkan serangan pandemi di daerah lain yang malah lebih dahsyat pada serangan gelombang kedua.
“Seperti kejadian di DKI, kasus-kasus yang terjadi pada tahap kedua malah lebih dahsyat,” tambah Saifullan. Kata dia, kondisi itu lah yang saat ini lebih dikhawatirkan oleh Pemerintah Aceh.
Tren Penangan COVID-19 di Aceh
Dalam acara talk show yang dipandu Redaktur Opini Harian Waspada, DR. Dedi Sahputra tersebut, Jubir Satgas Penanganan COVID-19 Aceh itu juga menjelaskan tentang tren penangan COVID-19 di Provinsi Aceh.
Pada dasarnya, kata dia, strategi yang digunakan di Aceh sama dengan di daerah lain di Indonesia. Namun terdapat beberapa kebijakan yang dinilai relevan untuk diberlakukan.
“Strategis yang digunakan sama dengan di provinsi lain, namun Satgas menerjemahkan
dalam panduan kebijakan yang relevan di Aceh,” sebutnya.
Pemerintah Aceh telah memberlakukan 2 Peraturan Gubernur (Pergub), 3 Tausyiah MPU, 4 Forkopimda, 15 Instruksi Gubernur, 16 Keputusan Gubernur dan 16 Surat Edaran Gubernur. Tausyiah MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama-red), merupakan keputusan yang dikeluarkan lembaga ulama di Aceh.
“Strategi yang digunakan, memperlambat atau menghentikan laju transmisi atau penularan atau penyebaran,” tegasnya. Strategis lainnya, pelayanan kesehatan yang optimal bagi kasus yang krisis. Selain itu juga meminimalkan dampak atau pelayanan sosial.
Pemerintah Aceh juga melakukan upaya preventif (pencegahan), yaitu melalui kegiatan tracing, testing dan treatment. Sementara pencegahan di tingkat masyarakat melalui 3M, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun.
“Dari upayan tersebut, telah terjadi penurunan kasus di Aceh. Kasus tertinggi terjadi pada minggu kedua September, yaitu sampai 1.000 kasus terkonfirmasi. Sedangkan pada minggu ketiga bulan yang sama turun menjadi 645 kasus. Pada minggu keempat, meningkat lagi menjadi 754 kasus,” kata Saifullah.
Sedangkan penurunan terjadi pada minggu pertama November, yaitu menjadi 256 kasus. Pada minggu kedua kembali turun menjadi 201 kasus. Pada minggu ketiga 244 kasus, sementara pada minggu keempat 149 kasus. Bahkan pada Desember, minggu pertama hanya 100 kasus, lanjut SAG. (b08/aldin nl)