Jumat, Mei 3, 2024
Google search engine
BerandaWisata & TravelSeni Budaya Jawa di Marelan, Bertahan Meski Terkikis Zaman

Seni Budaya Jawa di Marelan, Bertahan Meski Terkikis Zaman

Siang itu, Minggu (13/10/2019), terlihat sebuah keramaian di salah satu jalanan di sudut Kota Medan. Tepatnya, di Kecamatan Medan Marelan, Kelurahan Terjun, Kota Medan.

Penulis bersyukur, siang itu, sempat melihat suatu pertunjukan reog Ponorogo. Alunan musik gamelan khas Jawa Timur ini, saat itu terdengar unik di telinga. Suara alunan musik gamelan begitu lembut terdengar diwarnai dengan tarian khas reog.

Di depan reog terlihat rombongan pengantin pria dan keluarga yang akan dipertemukan dengan pengantin wanitanya. Sedangkan di barisan belakang reog itu terlihat beberapa wanita dan pria ikut bergoyang, bersama pemain kuda lumping, diiringi alunan musik.

Jarak ke lokasi pengantin wanita tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 100 meter, persis di pinggir Jalan Kapten Rahmad Buddin. Jalan itu dilalui kendaraan truk tonase besar dan angkot, sehingga sempat terjadi macet. Belum lagi karena ada penonton bersepeda motor dan warga sekitar yang ingin melihat reog, menyesaki jalanan siang itu.

Marelan satu dari 21 kecamatan yang ada di Kota Medan, yang terletak di daerah pinggiran, yang berbatas langsung dengan Kabupaten Deliserdang. Medan Marelan masuk ke dalam kawasan Medan Utara, yang terdiri dari Medan Belawan, Medan Deli dan Medan Labuhan. Kecamatan ini unik, masuk ke dalam wilayah Kota Medan, namun letak geografisnya terpisahkan oleh geografis Kabupaten Deliserdang.

Marelan merupakan salah satu sentra agribisnis. Banyak hasil pertanian dari daerah itu yang kemudian dikirim ke berbagai pasar tradisional ke pusat kota. Di kawasan pinggiran ini, masih cukup mudah menemukan sawah maupun lahan pertanian, khususnya padi sawah, sayur dan palawija.

Di kawasan ini pula, banyak seni budaya dan kearifan lokal (Melayu), termasuk juga budaya suku pendatang, yang masih terjaga. Misalnya kebudayaan dari suku Jawa yang masih sering terlihat. Suku Jawa memang agak mendominasi jumlah penduduk di Marelan ini.

Beberapa seni budaya memang masih terlihat dari suku pendatang, diantaranya wayang, reog Ponorogo, kuda lumping (kuda kepang), pertunjukan seni ludruk hingga seni budaya lainnya. Meski pelan-pelan hampir terkikis oleh zaman.

Salah seorang tokoh masyarakat Medan Marelan, mengatakan, wayang atau wayangan, dahulu sering digelar dan menjadi acara rutin, baik dari pihak kecamatan maupun individu warga yang tingkat ekonominya sudah mapan. Maklum, untuk menggelar jenis kesenian ini, dana yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Bisa hingga ratusan juta rupiah.

Suyatno, salah satunya, warga keturunan Jawa yang tinggal di Marelan. Tokoh masyarakat ini bercerita, dahulu ketika akan menyambut hari besar Islam seperti 1 Muharram maupun Idul Adha, pertunjukan wayang sering digelar. Termasuk pertunjukan seni ludruk di hari menjelang atau setelah Idul Adha.

Niatnya, sebagai wadah silahturahmi hingga mengenang atau memahami sebuah kisah hidup melalui pertunjukan seni. Seperti wayang, katanya, yang selalu memiliki jalan cerita tersendiri dan berbanding dengan kehidupan sehari-hari manusia. Baik itu berupa pengingat akan keberadaan Allah SWT maupun berisi ajaran-ajaran agar tidak berbuat dzolim kepada orang lain.

Sedangkan untuk seni kuda lumping, lebih sering digunakan untuk acara syukuran. Baik pernikahan, pesta sunat maupun pesta lainnya. Selain tarifnya yang murah, berkisar ratusan ribu sampai satu jutaan, sehingga bisa dijangkau oleh warga dengan tingkat ekonomi yang pas-pasan.

Ini berbanding jauh dengan pegelaran wayang yang cukup mahal mencapai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, tergantung tingkat ketenaran sang dalang (pemain wayang). Selain itu, pertunjukan wayang juga didukung oleh personil yang banyak, antara lain sebagai pemain musik, sinden (penyanyi), teknisi sound system dan pekerja yang bertugas membantu menyiapkan dan bongkar pasang perangkat yang dipakai.

Jadi wajar bila pertunjukan seni berupa wayang dihargai cukup mahal. Untuk sebuah karya seni, sangat sulit diukur dengan nilai nominal uang. Bahkan untuk tarif seorang penyanyi, artis dan band nasional, tidak ada yang sama. Seni adalah sebuah karya yang tidak bisa dinilai dengan nominal uang.

Sedangkan pertunjukan seni kuda lumping masih sering terlihat di kawasan Marelan, jika ada pesta pernikahan atau acara sunatan, khususnya warga dari suku Jawa. Namun, untuk seni reog maupun wayang dan seni pertunjukan ludruk, hampir jarang terlihat. Pertunjukan seni ini jarang, karena pemainnya lebih banyak dan tarifnya lebih mahal jika dibandingkan dengan pertunjukan kuda lumping.

Pertunjukan seni itu masih diminati masyarakat, meski semakin memudar tergerus oleh jaman. Pertunjukan seni asal Pulau Jawa ini dapat menjadi motivasi dan sugesti kepada anak cucu kita, bahwa bangsa Indonesia kaya dengan keanekaragaman budaya dan suku bangsa. (sulaiman achmad)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER