Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaTulisan FeatureSehari Bersama Wali Nanggroe Aceh

Sehari Bersama Wali Nanggroe Aceh

Sabtu, 27 Januari 2017, merupakan hari yang mengesankan bagi saya. Karena saya sebagai wartawan Waspada, diminta menemani Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Alhaytar, dalam perjalanan tugas beliau ke beberapa daerah di Aceh.

Selama dalam perjalanan yang ditempuh melalui darat, saya dan Wali Nanggroe beberapa kali singgah di suatu daerah. Seperti saat singgah untuk rehat sejenak di Kabupaten Pidie Jaya, saya yang selalu duduk berhadapan dengan Wali Nanggroe, sembari menyeruput kopi, kedatangan orang istimewa yang ingin bertemu Wali. Tamu itu adalah Bupati dan Wakil Bupati Pidie Jaya. Dan diskusi kami berdua pun terputus untuk beberapa saat.

Mie Aceh tampaknya menjadi makanan kesukaan Wali Nanggroe. Pria yang dulunya dikenal sebagai Perdana Menteri (PM) Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saat negeri ini masih didera konflik berkepanjangan. Sembari bercerita, Mentroe Malik, begitu sapaan akrab dari para sahabat seperjuangannya dulu, tampak lahap menyantap makanan yang disajikan.

“Saya ingin di Aceh ada library atau perpustakaan yang menyimpan arsip sejarah Aceh, dari sejak era kerajaan Pasai, hingga fase Aceh dipimpin kerajaan Aceh Darussalam,” kata Wali Nanggroe menyambung diskusi dengan saya.

Ia mengungkapkan rasa prihatinnya atas hilangnya berbagai kitab yang dikarang para ulama Aceh, terutama era kerajaan Aceh Darussalam. Ketika itu banyak buku yang dikarang Syaikh Al Singkily, dan pemikir Aceh lainnya yang namanya cukup tenar di dunia Islam. “Kitab-kitab tersebut harus kita cari dan selamatkan kembali,” katanya.

Saat singgah bermalam di Kota Lhokseumawe, pagi harinya sembari menyantap sarapan, Wali Nanggroe yang pada Maret 2018 akan menapaki usia 79 tahun, kembali mengungkap kegundahannya. “Saya peroleh informasi, kitab tulisan tangan ulama Aceh terdahulu, banyak diperjualbelikan, dan umumnya dibeli orang dari Malaysia,” ungkap Wali.

Karena itu, sambung Wali, upaya penyelamatan buku-buku tersebut harus secepatnya Ia lakukan. Ini semua demi ilmu pengetahuan, dan juga sebagai sarana putra dan putri Aceh untuk mengkaji kembali buah pemikiran ulama-ulama besar Aceh.

“Cita cita dan mimpi saya, Aceh memiliki semacam pusat sejarah. Di dalamnya terdapat buku dan benda sejarah tentang periode perkembangan Islam pertama kali hingga masa kerajaan Aceh Darussalam,” kata Wali Nanggroe, mengulang kembali penegasannya. ***

 

Penulis: Hendro Saky

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER