Minggu, Mei 5, 2024
Google search engine
BerandaSaifuddin Bantasyam: Masyarakat Aceh Beda Sikap Terkait Wacana Referendum

Saifuddin Bantasyam: Masyarakat Aceh Beda Sikap Terkait Wacana Referendum

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Tak lama usai perhelatan Pemilihan Umum 2019 di Indonesia, telah memicu ketidakpuasan dari berbagai pihak hingga adanya wacana referendum di Aceh. Muncul respon berbeda menyikapi isu referendum tersebut.

Pakar hukum sekaligus pemerhati politik dari Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam membandingkan situasi menguatnya tuntutan referendum antara tahun 1999 dengan yang terjadi sekarang. Menurut dia, kedua masa itu punya kesamaan dalam hal cara.

“Tapi terkait dengan alasan referendum dimunculkan, mungkin berbeda antara yang dulu dengan sekarang,” kata Saifuddin Bantasyam saat menjawab beberapa pertanyaan waspadaaceh.com melalui pesan WhatsApp, Kamis (30/5/2019).

Dia mengamati, pada tahun 1999, konflik yang terjadi di Aceh sangat parah. Jumlah korban juga sangat banyak. Ada rasa putus asa yang masif di dalam masyarakat. Ditambah lagi, di saat yang sama tak terlihat ada cara penyelesaian secara damai atas konflik bersenjata.

Berita Terkait: Ketika Plt Gubernur Aceh Tanggapi Soal Referendum

“Untuk mengakhirinya (kala itu), ya referendum: tetap dalam NKRI atau pisah dari NKRI. Dulu eforia masyarakat luar biasa karena ada faktor yang mempersatukan. Namun saya tak tahu bagaimana nanti respon masyarakat luas terhadap permintaan referendum tahun 2019 ini,” sebutnya.

Dalam pandangan Saifuddin, masyarakat Aceh kini terbelah secara politik. Hal itu tampak pada kesepahaman masyarakat terhadap satu hal, namun kadang berbeda dalam hal yang lain. Bahkan, kata dia, di kalangan mantan elite GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan internal PA sendiri berbeda ketika menyikapi pidato Muzakir Manaf itu.

“Hal ini mungkin karena konflik Aceh sudah selesai secara damai dan GAM menyatakan menerima Aceh sebagai bagian dari NKRI,” timpalnya.

Sementara dari sisi hukum, Saifuddin menjelaskan bahwa ketentuan referendum pernah terdapat di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985. Namun UU tersebut kemudian dicabut melalui UU No. 6 Tahun 1999. Dasar pencabutan adalah karena referendum tidak ada dalam UUD 1945, dan juga sudah dinyatakan dicabut juga sebelumnya dengan TAP MPR tahun 1998.

Akan tetapi, ujar Saifuddin, dalam UU tersebut tidak diterangkan lebih lanjut aturan jika ada orang yang ingin melaksanakan referendum.

“Jadi, ada semacam ‘kekosongan hukum’ atau tidak ada pengaturan yang terkait dengan referendum ini,” ungkap dia.

Secara teknis, referendum memang bagian dari kegiatan menyampaikan pendapat atau ekspresi di muka umum. Namun menurutnya, pemerintah bakal mempermasalahkannya jika ekspresi tersebut dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, atau jika tujuan referendum untuk memisahkan diri dari NKRI.

Mengapa Tuntutan Referendum Kembali Menguat?

Saifuddin Bantasyam turut menjabarkan beberapa kemungkinan terkait kondisi politik Aceh hingga memicu lahirnya tuntutan referendum. Peran eks petinggi GAM yang kini mengetuai Partai Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem, sangat sentral di sini.

“Karena yang pertama sekali menyampaikan hal tersebut adalah Muzakir Manaf dalam kapasitasnya sebagai Ketua PA, maka tuntutan itu mungkin muncul terkait dengan kekecewaan Muzakir Manaf terhadap kondisi politik kekinian,” ujarnya.

Beberapa kondisi yang dijelaskan Saifuddin, pertama, terkait dengan hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) di level provinsi dan beberapa kabupaten/kota di Aceh, yang menyebabkan kekhawatiran bahwa peran Partai Aceh mungkin tak lagi dominan dalam pengambilan kebijakan terkait pembangunan Aceh.

“Kendati, Mualem sudah menjelaskan bahwa tuntutan itu tak berhubungan dengan perolehan suara PA,” selanya.

Kondisi yang kedua, papar Saifuddin, secara jelas Mualem mengatakan kekecewaannya terhadap kondisi Indonesia saat ini, yang menurutnya tidak memegang prinsip keadilan. Walaupun menurutnya belum ada penjelasan yang detail tentang seperti apa bentuk ketidakadilan yang diungkapkan Mualem.

Dalam hal ini, Saifuddin menduga, jika ketidakadilan itu berkaitan dengan hasil Pilpres, maka kubu Prabowo yang didukung oleh Mualem pun kini sudah menempuhkan langkah hukum di Mahkamah Konstitusi.

Demikian halnya jika kekecewaan itu terkait dengan hasil Pileg, misalnya karena ada kecurangan, maka hukum juga menyediakan mekanisme penyelesaian keluhan atau keberatan tersebut.

Kondisi berikutnya, lanjut Saifuddin, bisa jadi tuntutan referendum muncul untuk membangun posisi tawar terhadap pusat.

“Posisi tawar itu perlu dibangun karena Jokowi kalah di Aceh. Mungkin ada kekhawatiran bahwa kebijakan Pemerintahan Jokowi nanti akan membonsai Aceh di berbagai sektor dengan berbagai cara,” kata dia.

Terakhir, ada juga yang mengaitkan tuntutan itu dengan alasan kegagalan implementasi MoU Helsinki dan UU PA sejak ditandatangani tahun 2005 dan disahkan tahun 2006 silam. Namun, bagi Saifuddin kegagalan ini terlihat tak terlalu serius dibahas oleh masyarakat politik di Aceh sendiri selama 13 tahun belakangan ini.

“Isu tentang hal ini hanya muncul pada momen-momen tertentu saja, termasuk dalam momen Pilpres dan Pileg atau momen peringatan hari-hari tertentu,” imbuhnya.

Sikap Masyarakat dan Kontrol Media

Sementara itu, Saifuddin juga mengamati beragamnya respon yang muncul di kalangan masyarakat, termasuk di media sosial.

“Ada yang kelihatannya setuju, namun juga ada yang menyatakan tidak perlu, atau bahwa tuntutan itu tidak tepat disampaikan pada saat ini. Tetapi sejauh ini yang muncul itu hanya respon yang sifatnya invidual, bukan respon dari masyarakat dalam skala yang besar atau masif,” kata dia.

Namun, ia dapat menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat tampak masih wait and see. Sebab, katanya, keadaan bisa jadi tidak sebagaimana yang orang-orang pikirkan. “Hangat buat sementara, tetapi keadaan bisa juga berubah sangat cepat,” pungkasnya.

Terakhir, Saifuddin menyoroti peran media massa dalam kondisi politik yang saat ini kian menghangat. Dia berharap, selain memberitakan sesuatu, media juga memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan negara.

“Karena ada tanggung jawab tersebut, maka media perlu dengan cerdas dan juga adil, serta detail, menyampaikan informasi,” ujar dia.

Dia juga menyarankan media harus menjauhkan diri dari agenda setting tertentu, serta menghindari berita yang memunculkan perpecahan di dalam masyarakat.

“Kita masyarakat harus dicerdaskan dengan tidak menulis hal-hal secara provokatif dan bombastis, serta tidak boleh bias. Harus ada perimbangan, disertai dengan petimbangan-pertimbangan, mengemas perbedaan dengan cara-cara yang menyejukkan, menganut peace journalism,” tandas Saifuddin Bantasyam. [Fuadi]

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER