Banda Aceh (Waspada Aceh) – Guru Besar Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Syamsul Rijal, mengatakan Partai Aceh (PA) perlu melakukan pembenahan karena eksistensinya yang menurun.
Dia mengatakan, eksistensi PA menurun sebagaimana dilihat berdasarkan perolehan jumlah kursi di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten).
“Jika dilihat dari jumlah kursi di DPRA, pada pemilu pertama 2009 mereka memproleh 33 kursi, di pemilu 2014 mereka mendapatkan 29 kursi. Pada pemilu 2019 18 kursi. 18 Kursi dari 81 kursi DPRA,” kata Prof Syamsul Rijal dalam wawancara khusus dengan wartawan di Takengon, Minggu (28/3/2021).
“Jadi turunnya jumlah Kursi tersehbut sangat signifikan. Persentasinya untuk mendapatkan kursi semakin kecil,” tambah Prof Syamsul Rijal yang duduk di Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh ini.
Dia mengatakan penurunan itu bisa disebabkan oleh pihak internal partai PA sendiri. Oleh sebab itu, kata Syamsul Rijal, PA harus melakukan pembenahan.
Selain itu, dia juga menyampaikan, sebenarnya dalam mengurus Aceh tidak hanya tugas dari PA, tetapi juga tugas dari politisi yang ada di partai nasional. Sebagaimana dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Prof Syamsul Rijal melihat, kehadiran PA memiliki mata rantai adanya UUPA,l dan adanya MoUm “Asal kita ketahui lahirnya PA karena hadirnya Memorandum of Understanding (MoU),” ucapnya.
MoU ini muncul karena ada konflik yang berkepanjangan di Aceh. Bersamaan dengan konflik di Aceh, provinsi ini ditimpa musibah tsunami.
“Dengan situasi demikian, muncul PA. Jadi warga menaruh harapan kepada PA. Seperti yang kita ketahui, mereka (PA) pada saat itu partai terbesar,” jelasnya.
Kata Syamsul Rijal, dengan adanya harapan masyarakat yang begitu besar pada PA, seharusnya PA menjadi pelopor di depan.
Dalam persfektif sosial, kata dia, ketika PA itu sebagai partai yang masuk kontestasi pemilu, itu harapan masyarakat Aceh tertuju kepada PA. Dia juga menyebutkan bahwa dalam dunia perpolitikan itu ada namanya dinamika politik.
Warga Aceh tidak semua termasuk kedalam tipe idiologis, tapi ada juga tipe warga yang sosialis dan pragmatis, lanjutnya.
“Warga Aceh adalah warga yang pragmatis yang mengikuti perkembangan zaman. Mereka akan memberikan harapanya kepada yang mewakilinya.”
“Jadi ketika harapanya tidak terpenuhi maka mereka tidak akan memberikan harapan tersebut kepada PA. Oleh sebab itu eksistensi PA menurun dan semakin menurun lagi,” jelasnya.
Prof Syamsul Rijal mengingatkan, jika ingin eksistensi PA naik lagi, PA sendiri harus mengevaluasi diri bagaimana kegagalan dalam merebut kursi bisa terjadi.
“Kalo mereka mau eksistensi naik lagi, mereka harus mengevaluasi kembali kegagalan-kegagalan dalam merebut kursi di eksekutif. Apa penyebab kegagalan tersebut, dan pendekatan yang kurang harus dievaluasi lagi,” tegasnya.
Kemudian yang kedua, tambah Guru Besar Filsafat Islam ini, PA harus mencoba memberikan pandangan secara elegan, tidak secara emosional.
Terkahir dia juga menyampaikan jika ingin eksis, perlu adanya kesamaan pandangan dalam partai itu sendiri. (Kia Rukiah)