Sabtu, Desember 21, 2024
spot_img
BerandaOpiniPoIitik Itu Mencemaskan

PoIitik Itu Mencemaskan

Oleh M Ridwan Lubis

Perpolitikan di Indonesia tidak kalah menariknya sebagai penyebab munculnya stres di masyarakat

Hampir tidak ada berita yang lebih menarik perhatian khalayak pembaca sekarang ini melebihi tema politik. Karena itu dipilih judul tulisan ini yang terinspirasi oleh Kolom Politik M Subhan SD dengan judul Politik Bikin Stres, Kompas, 30 Desember 2017. Sewaktu mengikuti kuliah Prof Sutan Takdir Alisyahbana di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (1982) Beliau menggambarkan bahwa politik adalah satu dari enam konfigurasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia.

Dalam pengamatan Beliau, politik adalah berpasangan dengan ekonomi, agama dengan seni dan ilmu berpasangan dengan teknik. Berbagai kejutan sering muncul dalam kegiatan berpolitik. Bisa saja ada orang yang semula tidak ada apa-apanya, tidak dikenal secara luas dan sama sekali tidak diperhitungkan para pengamat politik akan tiba-tiba dapat melejit sehingga muncul dan akhirnya menduduki singgasana pemerintahan.

Pada masyarakat yang sedang menapak kehidupan bernegara, berpolitik adalah menjadi jalan pintas untuk menaiki terjalnya kehidupan. Orang yang semula tidak dikenal oleh khalayak ramai memiliki privelege sebagai tokoh politik akan tetapi kemudian bisa melejit ke panggung kehidupan sosial adalah melalui jasa politik.

Namun dalam realita, sayangnya berpolitik yang diartikan sebagai meraih kekuasaan tidak berhenti sekedar sampai pada jabatan tertentu saja akan tetapi kemudian mulai merambah wilayah lain yaitu menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya akibat berbagai kemudahan yang tersedia kepadanya.

Berpolitik itu ibarat meninum air asin semakin lama menjabat semakin haus dan semakin enggan turun karena merasa bahwa harga dirinya tergantung pada jabatan yang diembannya. Banyak contoh yang terjadi hal yang demikian khususnya pada negara-negara tipe otoriter.

Berpolitik tidaklah berdiri sendiri, oleh sebab itu tidak mengherankan manakala pasangan dari konfigurasi nilai politik yang paling dekat adalah ekonomi akibat dari kemudahan akses bagi mereka untuk menjangkau berbagai aset pembangunan.

Dan hal itu belum juga selesai karena setelah keberhasilan di bidang politik dan ekonomi maka muncul variasi lain yaitu munculnya dorongan mencari pasangan hidup yang lain dengan alasan intensitas dan mobilitas kegiatan yang terus meningkat.

Hal ini semua merupakan akar-akar yang saling tali-temali tumbuh dengan berkembangnya perilaku korupsi baik secara perorangan maupun kolegial.

Tema perjuangan yang paling banyak diminati orang adalah di bidang politik. Oleh karena itu, perjuangan memperebutkan politik itu sering membelakangkan akal sehat akibat dorongan tarikan dari etos kekuasaan.

Kecemasan yang ditimbulkan politik bukan hanya terjadi di negara-negara yang masih dalam tahap perkembangan belajar berdemokrasi (infant democracy) tetapi juga terjadi pada negara yang sudah mapan kehidupan berdemokrasinya.

Subhan menulis, kalau memperhatikan tone negatifnya maka kecemasan terhadap perkembangan politik itu adalah didasarkan kepada alasan: khawatir (50,9 %), marah (9,5 %), miris dan akut (8,4 %). Kalau dijumlahkan (68,8 %) bisa disimpulkan mereka adalah jumlah populasi yang tidak bahagia mendengar politik.

Lebih lanjut, bagi kalangan anak-anak muda persoalan politk itu biasa-biasa saja (22,5 %) sementara yang menilai tenang dan damai hanya berada pada kelompok kecil remaja (1,1 %). Oleh karena itu, bagi kalangan anak muda, politik itu hanya bermakna sekedar sebagai perebutan kekuasaan (35,5 %), korupsi (15,6 %), dan kebohongan (13,8 %).

Dorongan karena alasan untuk kehidupan berdemokrasi cuma (18,9 %) sedangkan pendapat yang memahami profesi berpolitik untuk mendatangkan kesejahteraan rakyat adalah kecil sekali (2,9 %).

Sekarang mari kita bandingkan dengan yang terjadi di negara maju seperi Amerika Serikat. Pada Januari 2017, publik AS merasa stres dengan politik (VOA, 17/2) dan menurut penelitian Tim Asosiasi Psikologi AS (Februari) menyimpulkan iklim politik sangat atau cukup menjadi sumber stres yang signifikan warga (57 %).

Bahkan pemilihan Presiden yang dimenangi Donald Trump pada November 2016 bikin stres (49 %). Selain dari itu, rakyat AS juga stres soal masa depan negeri mereka yaitu dari kelompok Republik (59 %) dan Demokrat (76 %). Dari kutipan tersebut maka dapat dibayangkan betapa seriusnya persoalan ketidakpastian masa depan perpolitikan di negeri itu.

Akhirnya, artikel tersebut diakhiri dengan mengutip pendapat Ibn Khaldun seorang sosiolog muslim abad 15 dari Afrika Utara dalam bukunya yang sangat terkenal itu Muqaddimah, menarik kesimpulan bahwa berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukannya setelah menjelajahi berbagai pengalaman kehidupan berpolitik baik di seputar Afrika, Eropah dan Asia selamu puluhan tahun, ia sampai kepada kesimpulan dengan mengatakan bahwa sepanjang sejarah banyak negara telah mengalami kekalahan fisik tetapi tidak pernah menandai berakhirnya sebuah negara.

Namun ketika sebuah bangsa telah menjadi korban kekalahan psikologis maka itu tanda berakhirnya sebuah bangsa. Karena kalau hanya karena kekalahan fisik saja pasti akan muncul kembali dinamika dan elan vital yang baru akan tetapi kalau dasarnya adalah karena kekalahan mental yaitu akhlak, maka hal itu berarti telah selesai masa depan negara itu.

Sebagai contoh dari kekalahan psikologis itu adalah orang tidak lagi memiliki kemampuan membedakan antara berita yang sifatnya rumor dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga terbentuk sebuah paradigma jurnalistik bahwa bad news is good news.

Hal itu disebabkan karena pola berpikir manusia telah diubah oleh pertimbangan materi dan surutnya faktor idiologi yang menjadi dasar terjadinya sebuah perubahan. Dengan demikian, penyajian berita lebih ditekankan kepada tema yang bisa menjadi perhatian orang banyak.

Sedang berita yang sifatnya normal-normal saja dianggap tidak menarik perhatian khalayak dan karena itu kurang menguntungkan dari sudut pemasaran. Apabila diambil analogi terhadap kasus seorang tokoh agama baru-baru ini, popularitas beliau begitu cepat menanjak sebagai akibat dari pihak aparat pemerintah sepertinya kurang berupaya menetralisir berita tentang perlakuan tidak terpuji kepada beliau sehingga masyarakat menjadikan berita yang terlanjur berkembang di mass media dianggap sebagai sebuah fakta.

Akibatnya, berita yang berkembang tersebut bisa menimbulkan interpretasi yang macam-macam sehingga bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah persaingan politik.

Perpolitikan di Indonesia tidak kalah menariknya sebagai penyebab munculnya stres di masyarakat. Tahun 2018 dan 2019 adalah merupakan dua tahun yang telah dipopulerkan dengan istilah baru yaitu tahun politik. Dari berbagai pernyataan baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif tentang persoalan utama yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan kegiatan politik terkesan berbanding terbalik dengan persepsi di kalangan masyarakat umum tentang persoalan yang paling besar dihadapi oleh bangsa ini.

Dari artikel Subhan tersebut, persoalan yang memperoleh perhatian utama khalayak adalah persoalan korupsi yang terus menggurita di negeri ini. Semakin dilakukan proses investigasi terhadap satu kasus korupsi maka akan semakin terkuak pula jaringan yang saling terkait dengan tindakan kasus korupsi tertentu.

Dengan demikian, apabila kalangan aparat pemerintahan seringkali menyebut penggunaan unsur SARA sebagai bahaya utama pada tahun politik yang akan datang akan tetapi masyarakat berpandangan bahwa korupsilah pangkal dari semua kerapuhan bangsa ini yang meracuni hampir pada setiap lini pemerintahan.

Hal itu bukan berarti meniadakan adanya faktor SARA akan tetapi posisinya adalah pada faktor berikutnya. Oleh karena itu, selayaknya visi dan misi para calon yang akan tampil menjadi tokoh politik adalah program nyata dan meyakinkan masyarakat untuk mengurangi perilaku koruptif di dalam manajemen pemerintahan.

Program yang diperkenalkan para calon hendaknya lebih ditekankan pada peningkatan efisiensi dan produktivitas pembangunan yang didasari oleh penguatan mentalitas sebagai pemimpin.

Terkikisnya perilaku korupsi dalam manajemen pembangunan akan mengurangi kecemasan masyarakat terhadap politik, mengikis peluang munculnya sikap apatis serta menguatnya kembali kepercayaan masyarakat terhadap setiap kegiatan politik baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif dan eksekutif yang akan datang.

Kita hendaklnya semakin menyadari bahwa kekuatan sebuah bangsa bukan terletak pada kekuatan teknologi serta kekayaan sumber daya alamnya akan tetapi letak kekuatan itu adalah pada lubuk hati yang paling dalam yaitu akhlak yang bertumpu pada sikap ikhlas, bersih, jujur dan ksatria yang dituntun oleh kesadaran keberagamaan.

Virus mentalitas inilah hendaknya yang terus ditularkan kepada semua warga bangsa khususnya mereka yang akan terjun dan memilih profesi dalam perlombaan kehidupan berpolitik.

Oleh karena itu, hendaknya dapat dirubah paradigma berpolitik dari yang mencemaskan menjadi suasana gembira sehingga kegiatan berpolitik tidak mendorong timbulnya kecemasan akibat dari kemungkinan berkembangnya sikap apatisme dalam kehidupan sosial-politik akan tetapi sikap optimisme bagi kemajuan pembangunan baik di daerah maupun nasional.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER