Banda Aceh (Waspada Aceh) – “Plt Gubernur Aceh, berhak dan berkewajiban melakukan normalisasi atas lembaga keistimewaan. Supaya keberadaan lembaga keistimewaan betul-betul dapat berkontribusi kepada kemajuan Aceh,” kata Dr.M.Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Minggu (24/2/2019).
Adli menambahkan, lembaga keistimewaan Aceh, hendaknya bukan hanya lembaga yang menghabiskan anggaran tapi minus fungsi. Jadi menurutnya, Plt Gubernur Aceh berkeinginan, lembaga keistimewaan itu mampu memberi kontribusi nyata bagi masyarakat Aceh.
Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), dan Baitul Mal, adalah menjadi bagian dari lembaga keistimewaan Aceh, selain Badan Pendidikan Dayah, Mahkamah Syariah, Dinas Syariat Islam dan lain-lain.
Lembaga-lembaga istimewa ini, kata Adli, adalah institusi khusus yang ada di Aceh. Istitusi ini kata Adli, lahir berdasarkan hak-hak istimewa Provinsi Aceh yang tidak dimiliki oleh provinsi lain.
Salah satu normalisasi yang dilakukan adalah ketika Plt Gubernur Aceh menyerah-terimakan pimpinan tiga lembaga keistimewaan Aceh, dengan menunjuk Plt Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Ketua Majelis Pendidikan Aceh (MPA) dan Ketua Baitul Mal Aceh, di Pendopo Wakil Gubernur, Banda Aceh, Jumat (22/2/2019).
Tiiga pelaksana tugas lembaga tersebut, Saidan Nafi sebagai Plt Ketua MAA, Abdi A Wahab sebagai Plt Ketua MPA dan Mahdi Ahmadi sebagai Plt Ketua Baitul Mal Aceh. Menurut Nova, ketiga lembaga itu merupakan institusi khusus yang hanya dimiliki Aceh berdasarkan amanat UUPA dan yang tidak dimiliki oleh provinsi lain.
Belakangan, keputusan Plt Gubernur Aceh tersebut mendapatkan reaksi yang beragam. Tapi tidak demikian menurut Dr.Adli Abdullah.
“Saya melihat normalisasi ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pasal 10 Qanun NAD Nomor 3 tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja MAA. Dalam ketentuan itu, Mubes MAA diadakan lima tahun sekali,” kata Adli Abdullah.
Tugasnya, kata Adli Abdullah, memilih dan menetapkan Wali Nanggroe untuk masa bakti 5 (lima) tahun; kedua, memilih dan menetapkan Tuha Nanggroe untuk masa bakti 5 (lima) tahun, ketiga, memilih dan menetapkan Pengurus MAA Provinsi untuk masa bakti 5 (lima) tahun; dan keempat, membahas dan menyusun rencana kerja untuk masa bakti 5 (lima) tahun.
Dari empat tugas tersebut hanya poin 3 dan 4 yang masih fungsional. Sedangkan lainnya seperti Wali Nanggroe, setelah ada qanun tersendiri dan Tuha Nanggroe yang ada hanya dalam UU No 18 tahun 2001.
Maka dengan adanya UU Nomor 11 tahun 2006 tidak berlaku lagi. Jadi tatib yang ditetapkan oleh Mubes MAA, dan kemudian dijadikan pedoman Mubes, tidak ada dasar hukumnya karena pada pasal 10 tersebut tidak diatur, ujarnya.
Pengaturan dalam qanun ini bersifat umum, dan tidak mengatur secara teknis tata cara pemilihan pengurus MAA. Seharusnya pengurus MAA mempercepat terbitnya aturan teknis sebelum Mubes dilakukan. Sehingga tidak terjadi multi tafsir seperti hari ini, lanjut Adli Abdullah.
“Sebenarnya Ketua MAA ini, harus beraudiensi dengan gubernur sebelum pelaksanaan Mubes, bukan melakukan audiensi setelah Mubes. Dan MAA dapat menyiapkan draft Pergub seperti diamanahkan dalam pasal 16 ayat (2) Qanun Nomor 3 tahun 2004. Di mana dinyatakan bahwa hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini mengenai peraturan pelaksanaan, akan diatur dengan Keputusan Gubernur Aceh,” ujarnya.
Maka harus dimaknai sebagai Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh sesuai dengan Pasal 100, Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, agar mubes tidak cacat sehingga akan melegalkan penggunaan anggaran negara.
Karena MAA sekarang sebagaimana diamanahkan dalam pasal 16 dan 17 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sudah menjadi bagian dari urusan wajib pemerintah dalam bidang adat, berbeda dengan dahulu sewaktu masih menjadi LAKA (Lembaga Adat dan Kesenian Aceh).
“Kali ini, hemat saya, intervensi Plt Gubernur Nova Iriansyah tidak bertentangan, tetapi itu bagian dari kewenangannya karena sudah menjadi lembaga adat di bawah pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 2 Pasal 2 ayat 1 Majelis Adat Aceh Provinsi dibentuk oleh Gubernur dan berkedudukan di Ibukota Provinsi,” ujar Adli.
Secara De facto memang pengurus MAA dipilih oleh Mubes. Tetapi secara De Jure penetapan dan pelantikannya menjadi wewenang gubernur sebagai kepala daerah, tambahnya.
Harapan dengan pengangkatan pelaksana tugas (Plt) pada ketiga lembaga keistimewaan Aceh ini, kata Adli Abdullah, agar dapat segera mempersiapkan mubes baru yang sesuai ketentuan sehingga akan ada perubahan kearah yang lebih baik.
Pada saatnya nanti, dengan keberadaan lembaga keistimewaan Aceh ini, masyarakat dapat merasakan langsung manfaat kehadirannya. Tidak hanya dalam wujud karena perintah undang undang, tetapi benar benar terasa manfaat kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Aceh. (Ria)