“Kami memastikan pendampingan diberikan secara berkelanjutan, mulai dari pelaporan hingga pemulihan”
– Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana –
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus mengalami peningkatan selama empat tahun terakhir. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menunjukkan angka yang memprihatinkan.
Pada tahun 2020, tercatat 905 kasus kekerasan, meningkat menjadi 924 kasus pada 2021, 1.029 kasus pada 2022, dan mencapai 1.097 kasus pada tahun 2023.
Ironisnya, 60 persen dari kasus tersebut dialami oleh anak-anak. Namun, angka ini diyakini hanya puncak dari fenomena gunung es karena masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan pemerkosaan menjadi bentuk kekerasan yang paling sering dialami anak-anak. Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan fisik, dan psikis.
Meski angka tersebut tinggi, DPPPA sebagai institusi yang bertanggung jawab, terus melakukan berbagai upaya strategis untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan.
Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, mengatakan dalam upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus meningkat di Aceh, DPPPA Aceh semakin memperkuat perannya melalui berbagai program strategis.
Salah satu langkah utama adalah memperkuat layanan pengaduan dan pendampingan bagi korban.
“Layanan pengaduan menjadi pintu awal bagi korban untuk mendapatkan perlindungan. Kami memastikan pendampingan diberikan secara berkelanjutan, mulai dari pelaporan hingga pemulihan,” ujar Meutia.
Selain itu, pihaknya memiliki program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Puspaga berfungsi sebagai tempat edukasi dan pendampingan bagi keluarga untuk mencegah terjadinya kekerasan sejak dini.
Melalui Puspaga, DPPPA Aceh memberikan konseling dan edukasi kepada masyarakat untuk menciptakan lingkungan keluarga yang lebih aman dan harmonis.
Tidak hanya fokus pada layanan di kota, DPPPA Aceh Aceh juga aktif memberikan edukasi ke desa-desa. Program ini bertujuan untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil, memberikan pemahaman tentang pentingnya mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta memfasilitasi akses pelaporan bagi mereka yang menjadi korban.
“Kami ingin memastikan masyarakat di desa juga memahami hak mereka dan tahu harus ke mana melapor jika terjadi kekerasan,” sebut Meutia.
DP3A Aceh juga menggandeng pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan pihak terkait lainnya untuk menciptakan sistem perlindungan yang lebih efektif dan tanggap.
Kolaborasi ini bertujuan agar setiap korban mendapatkan akses mudah ke layanan pendampingan dan keadilan yang layak.
Pentingnya Peran Masyarakat
DPPPA Aceh, memang terus menggalakkan berbagai program strategis untuk menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Namun, menurutnya upaya ini tidak akan cukup efektif jika masyarakat masih enggan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di sekitar mereka.
“Kami telah menyediakan layanan pendampingan berkelanjutan bagi korban, mulai dari proses pengaduan hingga pemulihan. Namun, peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan bantuan,” ujar Meutia.
Masyarakat diimbau untuk tidak ragu melaporkan kekerasan yang mereka ketahui atau alami. DP3A Aceh menyediakan hotline 0811-6808-875 sebagai sarana pelaporan, atau masyarakat dapat langsung mendatangi UPTD PPA Aceh di Jl. Teungku Batee Timoh No.2, Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
“Tanpa dukungan masyarakat, upaya pencegahan kekerasan ini sulit terealisasi sepenuhnya. Kita semua harus berperan aktif melindungi perempuan dan anak,” tegas Meutia.
Dengan langkah-langkah strategis dan kerja sama dari berbagai pihak, DPPPA Aceh berharap dapat menciptakan Aceh yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak.
“Stop kekerasan, lindungi masa depan generasi kita,” tutupnya. (*)