Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaOpiniPemilu dan Pelepasan Hak Kodrati Rakyat

Pemilu dan Pelepasan Hak Kodrati Rakyat

“Memilih anggota legislatif adalah memilih orang yang akan membuat aturan”

Oleh Sutarmin

Gaung pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah mulai terdengar. Pemilu itu sendiri merupakan prosedur penyelenggaraan demokrasi. Rakyat difasilitasi untuk menentukan keberlangsungan bernegara dengan memilih pemimpin mereka. Baik yang duduk di eksekutif maupun di legislatif.

Pemilu tidak hanya dilihat sebagai proses ketika rakyat memberikan hak pilihnya, tapi rakyat atau warga negara justru melepaskan sebagian haknya kepada negara agar negara mengatur kehidupan warganya.

Sejalan dengan teori kontrak sosial J.J Rouseau pada proses pembentukan negara, saya menyakini bahwa Indonesia sebenarnya terbentuk melalui proses kontrak sosial. Karena kalau dirunut pada awal terbentuknya negara Indonesia, bukan terjadi secara alamiah, namun melalui proses kesepakatan dari para pendiri bangsa.

Walaupun pada masa itu belum ada pemilu, namun para pendiri bangsa sudah menyepakati bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Pun pada UUD 45 sebelum amandemen sudah menyatakan itu, walaupun pelaksanaan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara. Setelah amandemen, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dengan pelaksanaan berdasarkan undang undang dasar (UUD).

Sebab apabila kekuasaan rakyat dijalankan tanpa didasarkan pada aturan tertentu akan mengakibatkan kondisi kacau dan mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia. Pelaksanaan kedaulatan menurut UUD tersebut ditindaklanjuti oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Peraturan perundang-undangan yang mengakomodir pengaturan terkait dengan kedaulatan rakyat ialah undang-undang menyangkut Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah beserta peraturan-peraturan senada lainnya.

Kontrak Pelepasan Hak Kodrati Warga

Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, di mana rakyat diberi hak untuk mengatur pemerintah tapi sekaligus juga diatur oleh pemerintah. Pemilu adalah momentum di mana rakyat menentukan pilihan tentang siapa yang akan mengatur rakyat.

Memilih anggota legislatif adalah memilih orang yang akan membuat aturan. Sementara memilih eksekutif adalah memilih orang yang akan mengatur rakyat berdasarkan aturan- aturan yang sudah dibuat oleh badan legislatif. Setelah mereka dipilih oleh rakyat maka kemudian rakyat secara sukarela akan melepaskan hak-hak kodratinya untuk diatur dan dikuasai oleh negara.

Menilik dari kata demokrasi idealnya mengatakan bahwa rakyat yang akan memerintah, membuat aturan/undang-undang, dan melakukan aktivitas penyelenggaraan negara. Namun itu tidak mungkin dilakukan sehingga menurut Hamdan Zoelva yang muncul adalah demokrasi perwakilan, di mana rakyat memilih wakil-wakilnya.

Ini sangat berbeda dengan teori kekuatan, di mana negara terbentuk melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu. Maka dimulailah proses pembentukan suatu negara atau dapat diasumsikan bahwa terbentuknya suatu negara disebabkan oleh adanya pertarungan kekuatan. Pemenangnya yang akan membentuk atau mengatur negara.

Seperti sejarah terbentuknya kerajaan Mongol, di mana Temujin memenangkan pertarungan antar beberapa suku kemudian dilantik menjadi Khan yang agung di Mongol dengan julukan Gengis Khan.

Pada proses pembentukan negara seperti Mongol bukan rakyat yang berkuasa tapi siapa yang terkuat yang berkuasa. Di sini juga ada yang namanya pelepasan hak-hak kodrati warga negara kepada negara. Hanya saja prosesnya melalui paksaan.

Nah.. pemilu sebagai sarana demokrasi sendirinya menjamin bahwa warga negara dalam proses pelepasan hak-hak kodrati warga negara dilakukan dengan tanpa paksaan. Karena yang memilih siapa yang bakal mengatur dan menguasai rakyat adalah rakyat sendiri. Maka oleh Abraham Lincoln demokrasi diartikan sebagai pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Integritas Pemilu

Pemilihan umum adalah sesuatu yang sakral. Kita telah sepakat bahwa ini adalah salah satu prosedur rakyat masih punya kekuasaan dalam kehidupan bernegara.

Kualitas para pemimpin kita tentu juga ditentukan oleh kualitas pemilu. Rakyat sebagai partisipan harus diberi kemerdekaan untuk ikut memilih bahkan untuk tidak memilih tanpa adanya tekanan dari pihak manapun

Agar integritas pemilu terjaga dengan baik, maka harus dijaga integritas para penyelenggara pemilu. Jaminan itu diberikan dengan cara para penyelenggara pemilu haruslah orang orang yang netral. Netralitas bukan sekedar bebas dari kepentingan partai politik dan tidak memihak kepentingan manapun, tapi juga independen atau merdeka dalam membuat keputusan-keputusan terkait dengan penyelenggaraan pemilu.

Ekstremnya, penyelenggaraan pemilu itu hidup selayaknya hakim yang menjalani kehidupan yang sunyi saat berada di luar tugasnya. Mereka harus bersiap-siap untuk menjaga jarak dengan pihak-pihak manapun yang bisa mempengaruhi netralitasnya sebagai penyelenggara pemilu.

Sebagaimana disampaikan mantan ketua DKPP Prof. Muhammad, bahwa netralitas penyelenggara pemilu dimulai dari pikiran dan diwujudkan dalam sikap dan pernyataan. Netralitas adalah “mahkota” bagi para penyelenggara pemilu

Bagi yang pernah menjadi anggota partai politik harus menunggu 5 tahun setelah dia tidak lagi menjadi anggota partai politik baru bisa menjadi penyelenggara pemilu. Asumsinya setelah 5 tahun diharapkan sudah benar-benar bersih dari unsur unsur partai politik dan tidak menjadi tim sukses bayangan atau terselubung untuk kandidat tertentu.

Bila para penyelenggara Pemilu benar-benar telah “merdeka” dalam artian tidak memiliki konflik kepentingan dengan partai mau pun individu, maka pemilu yang jurdil (jujur dan adil) tentulah bisa diwujudkan. Dengan begitu pada Pemilu 2024 kita harapkan akan lahir wakil rakyat dan pemimpin yang amanah. Semoga (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER