Airnya sangat dingin, karena lokasinya berada di bawah kaki bukit dengan hiasan alami pepohonan dan bukit-bukit di atasnya yang terlihat berkabut.
Pemandian Brayeung, di kaki bukit Leupung, Aceh Besar, Aceh, menyimpan kenangan tersendiri bagi wisatawan asal Kota Medan yang berlibur ke sana. Lokasinya juga tidak terlalu jauh dari pusat kota Banda Aceh, dapat ditempuh sekira 1 jam.
Pemandian ini akan ramai jika bertepatan dengan hari libur nasional. Lokasinya, dapat ditempuh dengan mudah, meski harus masuk ke dalam areal pemukiman warga. Di jalur ini, pengunjung diharapkan menjalanjan kendaraan dengan hati-hati karena jalannya cukup kecil.
Lokasinya dari jalan lintas barat Banda Aceh-Meulaboh-Medan, masuk ke dalam dapat ditempuh sejauh 5 Km. Namun, ketika sudah sampai di lokasi, pengunjung akan disuguhkan eksotisme alam yang masih perawan disana.
Tepat berada di kaki bukit Leupung, air yang mengalir di Pemandian Brayeung itu bersumber dari mata air pegunungan disana. Airnya jernih, persis di lokasi pemandian terdapat tanggul atau bendungan, hingga air terlihat berwarna hijau jernih.
Airnya sangat dingin, karena lokasinya berada di bawah kaki bukit dengan hiasan alami pepohonan dan bukit-bukit di atasnya yang terlihat berkabut.
Pengelola di sana menyediakan kapal karet untuk bisa disewa selama 30 menit, cukup membayar Rp35.000 saja. Kemudian tersedia juga ban untuk menemani pengunjung mengitari aliran sungai di sana.
Di bawahnya juga terdapat aliran sungai yang mengalir cukup deras. Jika tidak menyukai air yang dalam, pengunjung bisa bermain air di aliran sungai yang dangkal di bawahnya. Airnya juga tetap dingin dan segar.
Jika hujan turun, pengunjung tidak perlu khawatir airnya akan semakin dingin dan kabut juga akan semakin tebal di lokasi itu. Pengunjung bisa berteduh di sekitaran pemandian itu, karena warga disana yang mengelola objek wisata tersebut menyediakan pondok-pondok yang dapat ditempati bersama keluarga.
Airnya yang jernih bahkan banyak membuat orang untuk berenang dan berlomba untuk tenggelam di dalam air. Jika tidak siap dingin, silahkan membawa jaket ya.
Pemandian ini cukup dikenal di kalangan masyarakat Aceh, karena memang kejernihan airnya yang membuat pengunjung betah berlama-lama disana. Ditambah keindahan alam yang masih eksotis dan perawan menjadi nilai plus pemandian tersebut.
Pengunjung asal Medan, Catur Agung, mengatakan lokasinya sangat strategis dan alami.
“Airnya masih dingin, segar dan sangat alami. Pepohonan disini membuat pemandian ini lebih eksotis. Susah didapatkan lagi objek wisata seperti ini di Medan. Ini masih alami. Sekali lagi nanti kami datang kesini lagi,” kata Catur.
Catur menilai objek wisata yang masih alami ini membekas di hatinya untuk kembali berkunjung nantinya jika datang ke Aceh lagi. Dia berharap masyarakat dan pemerintah setempat terus menjaga dan merawatnya agar tetap menjadi tempat idola buat berlibur.
Memang, jika berkunjung ke lokasi pemandian ini, pengunjung tidak perlu membayar mahal, cukup membayar Rp15.000 di depan pintu masuk untuk retribusi pemerintah kampung sekitar. Kemudian, bayar parkir ketika masuk ke objek wisata tersebut.
Pengunjung juga cukup duduk di mana pun gratis, apalagi warga sekitar banyak menjual jajanan dan makanan yang dibutuhkan pengunjung jika perut keroncongan.
Pengunjung juga diharapkan tidak membuang sampah sembarangan atau mengumpulkannya di suatu tempat sendiri, hal itu dimaksudkan agar menjaga kelestarian alam serta keberlangsungan dan keasrian alam di sana.
Terkait dengan semakin banyaknya objek wisata yang dikembangkan masyarakat lokal, bagaimana perhatian pemerintah di Aceh?
Pengembangan Wisata Lokal
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh Almuniza Kamal sebelumnya pernah mengatakan dalam upaya mengembangkan ekowisata di Aceh, pihaknya menerapkan berbagai inisiatif seperti pelestarian lingkungan, kampanye edukasi kesadaran lingkungan bekerja sama dengan berbagai pihak.
Termasuk lembaga lingkungan dan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan masyarakat lokal.
“Kami menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara pengembangan wisata alam dan pelestarian lingkungan,” kata Almuniza Kamal, 2 November 2024.
Almuniza menyebutkan, Disbudpar Aceh akan menjaga keseimbangan antara pengembangan wisata alam dan pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan.
Dinas juga memiliki program untuk melibatkan masyarakat lokal dengan lembaga lingkungan dalam pengelolaan ekowisata, mengedukasi pengunjung dan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. (*)