Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kasus kekerasan seksual terhadap santri di bawah umur yang terjadi di Lhokseumawe, membuat masyarakat terhenyak. Mirisnya, pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh pimpinan dan salah seorang guru di pesantren tersebut.
Terkait peristiwa memalukan itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menyebut kasus asusila tersebut secara nyata telah mencoreng dunia perlindungan terhadap anak.
Dalam pemeriksaan polisi, diketahui korban dalam kasus ini mencapai 15 orang. Kekerasan seksual itu telah terjadi berulang kali, bahkan bebarapa korban sudah mengalami beberapa kali sodomi.
Berita Terkait: Pelecehan Seksual Santri, Pemko Buka Posko Trauma dan Tutup Dayah AN
“Para pelaku tidak hanya telah mengotori moralnya sebagai manusia, tetapi juga telah menghina agama sebagai pendidik. Dan itu terjadi di daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, daerah yang kekuatan agamanya masih sangat melekat dalam kehidupan sehari hari,” kata Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, Jumat (12/7/2019).
LBH mengapresiasi aparat kepolisian di jajaran Polres Lhokseumawe yang cepat dan sigap bertindak atas laporan orang tua korban, hingga dapat menahan kedua tersangka pelaku. Pihaknya berharap kepolisian dapat melakukan penyidikan kasus ini secara tuntas.
Berita Terkait: Ini Dia Pimpinan dan Guru Dayah Cabuli 6 Santrinya
“Namun, perlu dilihat juga ini adalah kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Harus dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak, jangan kemudian digiring ke Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,” kata Syahrul.
Dia memaparkan, dalam Pasal 47 Qanun Jinayah menyebut pelecehan seksual yang menimpa korban secara umum. Menurut Syahrul, pasal ini tidak serta merta bisa dilekatkan kepada pelaku seksual yang korbannya adalah anak.
Kata dia, hal ini menyusul pernyataan Kapolres Lhokseumawe di beberapa media, yang menyebutkan bahwa pelaku diancam dengan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
“Jika kasus ini benar-benar dikenakan Qanun Jinayah, maka kita duga ada mis pemahaman aparat penegak hukum terhadap aturan yang berlaku,” kata dia.
Syahrul meyakinkan, Indonesia telah sepakat bahwa kejahatan terhadap anak termasuk dalam extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Menindaklanjuti ketetapan itu, sambung Syahrul, maka lahir aturan khusus untuk melindungi anak melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Diketahui, UU tersebut saat ini telah mengalami dua kali perubahan. Pada perubahan pertama UU Perlindungan Anak telah mamasukkan unsur perlindungan anak dalam lingkungan pendidikan.
“Kalau mau lebih jeli dan teliti, coba lihat pasal 9 ayat 2 dan pasal 54 Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jika kasus ini ditangani dengan UU Perlindungan Anak saja, hukuman yang akan diterima pelaku bisa sampai 15 tahun penjara dan dendanya juga lebih besar,” jelas Syahrul.
Dia berharap pihak kepolisian memiliki pemahaman yang sama terhadap penerapan hukum kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Jangan lihat kejahatan terhadap anak ini sama dengan kejahatan pada orang secara umum. Menurut kami ini sangat keliru dan tidak ada frame pemahaman perlindungan terhadap anak,” pintanya.
Jika kasus ini tetap dikenakan Qanun Jinayah, Syahrul khawatir, banyak hak anak yang menjadi korban akan hilang. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU Perlindungan Anak, terdapat hak untuk pemulihan, hak untuk mendapatkan restitusi (ganti kerugian sebagai korban tindak pidana) dan hak-hak lain yang telah diatur.
“Saat ini kami sedang menunggu bahkan sedang mencari tahu tentang korban dan keluarga korban untuk bisa kami dampingi agar anak yang menjadi korban mendapatkan hak-haknya,” tandasnya. (Fuadi)