Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua puluh tahun setelah tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, ingatan kolektif tentang bencana itu tetap hidup melalui pameran seni KARAT.
Diselenggarakan oleh International Center of Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), pameran ini berlangsung di Sekretariat ICAIOS, komplek PPISB, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dari 16 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025, menghadirkan tujuh instalasi seni karya anak muda Aceh yang menggugah refleksi masyarakat.
Memori yang Mulai Pudar
Direktur ICAIOS, Reza Idria, menjelaskan bahwa istilah karat dipilih untuk menggambarkan memori kebencanaan yang perlahan memudar seiring waktu.
“Memori kita tentang kebencanaan semakin lama semakin berkarat. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan hilang,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu sore (18/12/2024).
Dalam bahasa Aceh, karat juga memiliki makna mendesak atau penting untuk segera ditangani. Filosofi ini mencerminkan urgensi untuk terus menjaga ingatan tentang bencana agar tidak pudar seiring waktu.
Pameran ini menampilkan tujuh instalasi seni hasil penelitian ICAIOS yang diterjemahkan ke dalam karya seni oleh seniman muda Aceh.
“Penelitian yang biasanya hanya berbentuk paper ilmiah diubah menjadi instalasi yang membuat pengunjung merasa seolah-olah masuk ke dalam narasi penelitian tersebut, sehingga dapat dikomunikasikan hingga ke level masyarakat akar rumput,” tambah Reza.
Kurator pameran, Pratitou Arafat, menjelaskan karya-karya ini bukan sekadar medium seni, tetapi juga alat refleksi dan pembelajaran.
“Anak muda ini cerdas, tetapi sering tidak punya ruang untuk bersuara. Lewat seni, mereka merespons penelitian menjadi karya yang mudah dicerna dan menyentuh hati,” jelas Reza.
Saat memasuki ruang pameran, suasana yang berbeda segera terasa. Tirai putih mengelilingi berbagai instalasi disertai dengan suara ombak. Setiap karya seni mengundang pengunjung untuk merenung, menghadirkan gambaran tentang Aceh, sejarahnya, serta perjuangan dan harapan masyarakat yang terus bertahan di tengah bencana.
Kami memasuki lorong Keramik Masa Lalu, karya Ferian Yavis Pradika dan Aceh Geohazard Project, instalasi berbasis pecahan keramik yang terdiri dari tiga lorong. Karya ini mengisahkan kejayaan dan sejarah peradaban pesisir Aceh yang berkali-kali diterpa bencana.
Pengunjung juga diajak melihat panjangan berbingkai emas, sebuah karya dari Rizka Maulida dan Uchra Mustika yang memajang hasil riset tsunami Aceh, Namun, untuk melihat penelitian tersebut, pengunjung perlu menggunakan kaca pembesar. Ini merupakan kritik terhadap banyaknya riset yang hanya menjadi pajangan akademik dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat umum.
Selain itu, karya Balung Bidai, kolaborasi antara Zahrina Adzana dan Reza Idria. Instalasi ini memadukan elemen hikayat dan visual untuk menggambarkan keputusasaan serta harapan yang memudar pascatsunami.
Instalasi bertema Untold Stories, karya Raida Adilah dan Slow Disaster Project, memanfaatkan metode photovoice untuk merekam kehidupan masyarakat pascabencana. Karya ini menyoroti trauma, kehilangan, dan adaptasi masyarakat terhadap dinamika pasca-tsunami.
Karya bertema Ia Ada di Sini, Tidak di Sana oleh Zakhreen Hamdani dan Pratitou Arafat menampilkan motif songket bertema tsunami sebagai upaya pelestarian budaya dan ilustrasi kekuatan pendekatan vernakular dalam mitigasi bencana. Instalasi bertema Rentan karya Rizky Akbar dan Cut Dewi mendokumentasikan arsitektur Aceh melalui metode Vernadoc sebagai upaya pelestarian identitas budaya di wilayah rawan bencana.
Sementara itu, karya Soft Heart yang melibatkan Cornell University menyampaikan empati anak-anak dunia untuk korban tsunami Aceh.
Selain instalasi seni, pameran ini juga mengadakan berbagai acara, seperti night exhibition, lokakarya keramik, dan pidato kebudayaan pada 27 Desember 2024. Semua agenda dirancang untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana. (*)