Kamis, April 25, 2024
Google search engine
BerandaTulisan FeatureNazam Aceh, Riwayatmu Kini

Nazam Aceh, Riwayatmu Kini

Sebuah tradisi, kesenian dan kebudayaan seharusnya dijaga dan dilestarikan. Sehingga tak hilang meski zaman terus berganti. Tapi tidak dengan Nazam Aceh yang riwayatnya kini nyaris ditelan bumi.

Nazam merupakan jenis puisi lama yang dipengaruhi sastra Arab dan juga syair-syair Aceh. Tepatnya berisi nasihat agama bahasa Aceh yang ditulis dengan bahasa melayu, dalam tulisan Arab Jawi. Dalam bentuk modern.

Nazam menyerupai nasyid. Hanya saja, Nazam punya ciri sendiri. Paling tidak, dalam sebaris Nazam tidak lebih dari dua belas suku kata, dibacakan dengan irama tertentu, biasanya berbaris lengkap.

TA Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh, termasuk Nazam. Selain itu juga sebagai penyalin dan pembaca hikayat Aceh. (Foto/Dani Randi)
TA Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh, termasuk Nazam. Selain itu juga sebagai penyalin dan pembaca hikayat Aceh. (Foto/Dani Randi)

Dari isinya, Nazam mengandung nasihat sangat tinggi. Nilai dakwahnya tidak diragukan lagi. Dibuka dengan puji-pujian, ditutup dengan doa. Pada bagian penutup, juga menyinggung soal kepengarangan naskah Teungku Dicucum dan keluarga Syeh Abdussamad. Juga beberapa ulama besar Aceh dalam wasilah doa penutup.

Ahli Hikayat Aceh, Teuku Abdullah Sakti yang akrab disapa TA Sakti menjelaskan, Nazam tersebut di dalamnya ada syair-syair tentang agama Islam. Dalam Nazam, banyak hal yang diceritakan. Ada tentang ajaran Fikah (Kitab) kemudian tentang masalah hadist-hadist Nabi dan kisah perjalanan Nabi.

“Cerita agama, itulah Nazam,” kata TA Sakti kepada waspadaaceh.com beberapa waktu lalu.

Dulu, Nazam ini digunakan dalam kegiatan pengajian, pesta perkawinan, maulid (tradisi keagaman), menunaikan nazar dan menyambut bulan suci Ramadhan. Biasanya pembacaan Nazam berturut-turut selama 4 sampai 6 hari. Yang membuat kegiatan tersebut juga pasti akan mengundang para ahli untuk membaca Nazam. Tentunya dihadiri orang ramai.

TA Sakti mengisahkan, pada tahun 1960 para pembaca dan penyalin Nazam cukup sukses di Aceh. Mereka rela menempuh puluhan kilometer dari kota satu ke kota yang lain untuk membaca Nazam. Pembaca Nazam ialah orang-orang yang taat dengan agama.

Namun perkembangan zaman tak bisa dielakkan. TA Sakti menilai peminat tentang Nazam Aceh saat ini sangat berkurang bahkan hilang. Hal ini disebabkan perkembangan zaman. Dia membandingkan Aceh tempo dulu dengan kondisi Aceh sekarang. Nazam disamping sebagai pembelajaran agama juga menjadi hiburan.

“Di sini juga ada lucu-lucunya sedikit, tapi karena sekarang hiburan sudah banyak sekali, membuat orang membaca semakin sedikit. Kalau dulu orang Aceh hidup dengan hikayat siang malam orang Aceh selalu membaca hikayat,” kata TA Sakti sembari menunjukan beberapa hikayat dan Nazam yang dia bawakan.

Namun Hikayat berbeda dengan Nazam. Nazam tersebut lebih dekat dengan ajaran agama. Orang yang belajar Nazam juga bukan orang sembarangan. Harus terlatih membaca huruf Arab Jawi. “Hingga kini belum ada penerus pembaca Nazam,” ungkapnya.

Nazam ini merupakan kumpulan dari berbagai kitab. Baik itu Arab maupun kitab Jawi. “Intinya kalau kita berpatokan sumbernya dari Alquran dan Hadits,” sebut TA Sakti, yang juga sebagai Dosen Sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Tanpa Generasi

Teuku Ismail, salah seorang pembaca Nazam yang masih tersisa menceritakan, dia sudah 45 tahun membaca Nazam. Menurutnya Nazam itu merupakan ilmu yang sangat berguna apalagi pada Nazam banyak mengajarkan tentang ajaran agama Islam.

“Nazam juga disebut berbagai sifat dan akhlak yang dianjurkan dalam Islam,” sebutnya saat dijumpai di kediamannya di Gampong Tanjong Dayah, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.

Dia mengakui, sejarah Nazam yang hari ini sudah sangat sedikit bahkan nyaris punah keberadaan dan penerusnya. Dia menceritakan Nazam yang sering ia bacakan ialah Nazam Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum dengan judul asli “Akhbarul Na’im” (Kabar Yang Nikmat) yang ditulis pada tahun 1269 Hijriyah.

Secara umum isi Nazam Teungku Di Cucum merupakan nasehat bagi ummat Islam sepanjang hayatnya. Misalnya sejak dalam kandungan, lahir ke dunia, usia anak-anak, remaja, kawin-mawin, beranak-bercucu, berumur hingga sampai meninggal dunia.

“Pembacaan nazam berbeda dengan ceramah. Sebab kalau sudah dibaca pasti harus dihabiskan,” kata dia sambil memperlihatkan Nazam salinan Syekh Andid sebanyak 328 halaman.

Dia menilai generasi saat ini banyak yang tidak tertarik terhadap Nazam karena kurangnya pengenalan. Selain itu dia juga menyayangkan generasi sekarang tidak peka terhadap peninggalan sejarah Aceh khususnya Nazam itu sendiri.

Menurutnya, Sekarang banyak yang tidak bisa membaca bahasa Arab. Padahal bahasa Arab itu karakter mengaji. “Kalau orang pandai mengaji pasti bisa membaca Nazam,” sebutnya.

Pembaca Nazam lainnya, Haji Abdurrahman baru-baru ini dijumpai waspadaaceh.com di Gampong Lamcie, Kecamatan Kuta Baroe, Aceh Besar. Saat ditanya soal Nazam, ia begitu bersemangat untuk menjelaskan. Menurutnya betapa gagahnya dulu orang yang membaca Nazam di depan ratusan bahkan ribuan jamaah.

Pensiunan penjaga Sekolah Dasar ini sudah mulai sakit-sakitan, namun dia berupaya mempertahankan Nazam dengan cara membacanya meski setahun sekali. Mengenai generasi selanjutnya, dia pun meresahkan bahwa para pembaca Nazam akan sulit untuk ditemui lagi karena tak memiliki generasi.

“Membaca nazam 5-6 malam di masjid setahun sekali menjelang bulan Maulid Nabi. Karena dalam Nazam banyak yang menceritakan kisah maulid. Seperti Nazam Kitab Aqkbarul Naim, menceritakan kenikmatan Tuhan dalam Islam dari lahir hingga menuju kematian,” sebutnya.

Sementara, penyalin Nazam dari bentuk aslinya yang berhasil ditemui waspadaaceh.com di kediamannya di Gampong Meunasah Intan, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Markam Hasan (91), terlihat tak lagi sekuat 40 tahun yang lalu.

Dia hanya tertidur di ruang tamu. Tidur di antara tumpukan tulisan tentang Nazam di sekelilingnya. Padahal diantara pembaca Nazam Aceh, Ia dikenal sebagai penyalin Nazam yang cukup rapi dalam bahasa Arab Jawi.

“Dulu ayah sering menghabiskan waktu untuk menulis Nazam. Baik itu dalam bahasa Arab Jawi maupun bahasa latin,” kata Yusnidar, anak bungsu Markam Hasan.

Yusnidar juga mengakui, meski ayahnya penyalin Nazam, keahliannya itu sama sekali tidak menurun kepada DIRINYA dan saudaranya. “Paling diantara keluarga cuma ayah saja, yang bisa dan mampu menyalin nazam. Kalau kita tidak ada yang bisa,” ucapnya.

Walaupun sudah puluhan tahun menyelamatkan Nazam, Markam Hasan, Abdurrahman dan Tengku Ismail sependapat bahwa sampai saat ini tidak ada perhatian dan dukungan dari Pemerintah. Padahal jika tidak segera diselamatkan maka kesenian Nazam akan punah seiring berjalannya waktu.

“Ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Setidaknya Nazam ini akan bertahan, walaupun tak semaju dulu,” kata Tengku Ismail. (Dani Randi)

BERITA TERKINI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER