Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketua Umum Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA), H.Muzakir Manaf alias Mualem, menyambut baik adanya kesepahaman (MoU) antara Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh dengan Pemerintah Aceh.
Namun, kata Mualem, kesepahaman itu wajib dimaknai dan bertujuan untuk memperkuat bargaining position (nilai tawar) Aceh dengan Pemerintah Pusat (Jakarta). Sebaliknya, jangan sampai kesepahaman (MoU) itu sebatas seremoni tanpa makna dan keberlanjutan atau memiliki agenda politik tertentu dan terselubung.
Penegasan itu disampaikan Mualem melalui Juru Bicara (Jubir) Partai Aceh (PA), H. Muhammad Saleh, Selasa siang (12/11/2019) di Banda Aceh.
“Mualem berharap, Forbes DPR dan DPD RI, dapat lebih fokus dan maksimal berjuang, memenuhi sejumlah kewenangan Aceh berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA, yang belum seluruhnya terwujud dan terlaksana di Aceh,” kata Mualem melalui Jubir PA H. Muhammad Saleh atau akrab disapa Shaleh ini.
Itu sebabnya, kesepahaman tersebut diharapkan dapat menjadi tambahan energi, guna mempercepat terwujudnya dan terlaksana seluruh kewenangan yang dimiliki Aceh.
“Selama ini disadari atau tidak, antara Aceh dan Jakarta (Forbes DPR dan DPD RI), terkesan berjalan sendiri-sendiri. Bahkan ada oknum yang bertindak dan bersikap kontra produktif dengan semangat MoU Helsinki dan UUPA yang telah dimiliki Aceh. Ke depan sikap dan perbuatan itu jangan terulang dan terjadi lagi,” tegas Mualem, menginggatkan.
Sebelumnya, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dan Ketua DPRA H.Dahlan Jamaluddin, atas nama Pemerintahan Aceh, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), terkait Pembangunan dan Penguatan Otonomi Khusus, Keistimewaan Aceh, dan Sinergisitas Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan RI bersama Ketua Forum Bersama (Forbes) DPR RI dan DPD RI asal Aceh.
MoU itu ditandatangani Ketua Forbes, H.Muhammad Nasir Djamil, bersama Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (11/11/2019).
Menurut Mualem, secara jujur harus diakui, peran dan fungsi Forbes DPR- DPD RI selama ini lemah. Sehingga berbagai persoalan kewenangan yang dimiliki Aceh, terabaikan begitu saja dan menjadi terisolir. Bahkan teramputasi secara sistematis.
Akibatnya memunculkan berbagai sikap pro dan kontra dan berpotensi melahirkan konflik horizontal baru di internal rakyat Aceh. Terutama dalam menafsirkan poin-poin MoU Helsinki dan UU No: 11/2006, tentang Pemerintah Aceh.
“Itu jangan lagi terjadi. Mari kita isi perdamaian dengan segala kewenangan yang kita miliki, demi kejayaan dan kemakmuran rakyat Aceh di masa mendatang,” imbau Mualem.
Sementara itu Pemerintah Pusat (Jakarta) dinilai Mualem, terkesan memang sengaja mengulur-ulur waktu untuk melimpahkan sejumlah kewenangan kepada Aceh, sehingga menimbulkan kejenuhan bagi rakyat Aceh.
Jika pun ada, peran dan fungsi tersebut lebih dititik-beratkan pada sektor alokasi anggaran dan pembangunan infrastruktur serta suprastruktur, sehingga tanpa sadar “terjebak” pada agenda rutin tahunan dan lima tahunan.
“Ini juga penting untuk percepatan pembangunan di Aceh. Tapi menepis kewenangan yang kita miliki merupakan sesuatu yang naif. Karena itu, saatnya kita kedepankan kewenangan sehingga kita mendapat hak jauh lebih besar,” tegas Mualem.
“Inilah sejumlah agenda besar yang wajib diperjuangkan 13 anggota DPR dan 4 DPD RI mengenai kewenangan Aceh, yang selama cenderung dan relatif terabaikan. Libatkan semua potensi rakyat di Aceh maupun Indonesia. Baik partai politik, pengusaha, akademisi, aktivis LSM, insan pers serta tokoh Aceh yang ada di berbagai kementerian, instansi. Bahkan luar negeri,” ajak Mualem melalui Jubir PA, H. Muhammad Saleh.
“Karena itu saya minta, lepaskan semua baju partai politik dan kepentingan kelompok yang sempit. Mari sama-sama kita berjuang dengan seluruh potensi yang ada, untuk memenuhi kewenangan Aceh yang masih belum terlaksana. Semua itu demi kemajuan dan kemakmuran rakyat Aceh yang wajib kita perjuangkan bersama-sama,” imbau Mualem.
Dikatakan Mualem, sebenarnya semua tugas tadi merupakan kewajiban setiap anggota DPR dan DPD RI asal Aceh. Ini bermakna, tanpa adanya MoU antara Forbes dan Pemerintah Aceh pun, tugas, peran dan fungsi tersebut wajib dilakukan anggota DPR-DPD RI asal Aceh. Sebab, fungsi mereka memang memperjuangkan aspirasi rakyat dari daerah pemilihannya (dapil) yaitu; Aceh.
“Membangun jalan dan jembatan serta gedung di Aceh itu juga perlu dan penting. Tapi, memperjuangkan kewenangan yang dimiliki Aceh, jauh lebih penting dan menjadi kewajiban. Sebab hak khusus yang kini dimiliki Aceh bukanlah hadiah, namun diperjuangkan melalui darah, nyawa dan air mata, melalui MoU Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia,” kata Mualem mengingatkan. (Ria)