Jumat, Mei 2, 2025
spot_img
BerandaOpiniMerdeka Belajar: Antara Idealisme dan Realitas di Lapangan

Merdeka Belajar: Antara Idealisme dan Realitas di Lapangan

Banyak guru merasa gagap menghadapi perubahan kurikulum yang cepat dan minim pelatihan mendalam.

Oleh: Anita, M.Pd

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional (HPN) sebagai wujud penghormatan terhadap Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Tahun ini, tema “Merdeka Belajar” kembali menjadi sorotan utama dalam percakapan pendidikan nasional. Namun di balik semangat pembaruan yang diusung, muncul pertanyaan besar: sejauh mana idealisme Merdeka Belajar benar-benar terwujud di lapangan?

Merdeka Belajar lahir dari gagasan mulia: memberi kebebasan pada siswa untuk belajar sesuai potensi dan minatnya, serta memberi keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk berinovasi.

Kurikulum diarahkan agar lebih fleksibel, pembelajaran menjadi lebih kontekstual, dan penilaian lebih menekankan pada proses daripada angka semata. Pada tingkat konsep, kebijakan ini menjanjikan angin segar bagi dunia pendidikan yang selama ini terlalu kaku dan seragam.

Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seindah konsepnya. Banyak guru merasa gagap menghadapi perubahan kurikulum yang cepat dan minim pelatihan mendalam. Mereka dibebani berbagai administrasi baru yang justru bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan mengajar.

Tidak sedikit pula sekolah, khususnya di daerah, yang belum memiliki infrastruktur, sumber daya manusia, dan akses teknologi yang memadai untuk menerapkan pendekatan pembelajaran yang merdeka dan inovatif.

Selain itu, sebagian orang tua belum memahami betul esensi Merdeka Belajar, dan masih terjebak pada pola pikir lama yang menilai kesuksesan anak dari nilai ujian atau rangking kelas. Akibatnya, tekanan terhadap siswa tetap tinggi, dan kebebasan belajar yang seharusnya membahagiakan justru berubah menjadi beban baru yang membingungkan.

Merdeka Belajar juga menuntut guru untuk menjadi fasilitator aktif yang adaptif terhadap kebutuhan murid. Tapi bagaimana mungkin guru bisa berinovasi jika mereka sendiri tidak diberi ruang, waktu, dan penghargaan yang layak?

Realita di banyak sekolah menunjukkan guru masih bekerja dalam sistem yang hierarkis dan penuh tekanan, tanpa cukup dukungan untuk berkembang secara profesional.

Oleh karena itu, dalam semangat Hari Pendidikan Nasional, penting bagi kita semua—pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat—untuk bersama-sama merefleksikan kembali makna Merdeka Belajar.

Kebijakan ini tidak cukup hanya menjadi slogan, tetapi harus dibarengi dengan kebijakan pendukung yang konkret: pelatihan guru yang berkelanjutan, penyederhanaan beban administrasi, penyediaan fasilitas belajar yang merata, dan sosialisasi menyeluruh kepada seluruh pemangku kepentingan.

Merdeka Belajar bukan hanya soal kebebasan, tetapi juga soal tanggung jawab. Kebebasan tanpa arah hanya akan melahirkan kebingungan. Maka, perlu adanya pendampingan, keteladanan, dan kolaborasi yang kuat agar idealisme Merdeka Belajar benar-benar dapat membumi dan memberi manfaat nyata bagi setiap anak bangsa.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari terus menghidupkan semangat Ki Hajar Dewantara: pendidikan yang memerdekakan, membangun manusia seutuhnya, dan memajukan peradaban bangsa. (*)

  • Penulis adalah guru di SMP Negeri 17 Kota Banda Aceh
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER