Senin, Juni 16, 2025
spot_img
BerandaNasionalMengawal Rencana Revisi UU Kehutanan, Aktivis: Akhiri Berpikir Tak Adil Ala Kolonial

Mengawal Rencana Revisi UU Kehutanan, Aktivis: Akhiri Berpikir Tak Adil Ala Kolonial

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 dinilai sebagai momentum penting untuk mengakhiri paradigma kolonial dalam pengelolaan hutan.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi menuntut agar revisi UU ini mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal sebagai pihak sah dalam menjaga hutan, serta menghentikan ekspansi korporasi atas nama pembangunan berkelanjutan.

“UU Kehutanan harus berubah total karena sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun. Jika tidak direvisi secara mendasar, Indonesia bisa gagal mencapai target pengurangan emisi dari sektor FoLU,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), dalam diskusi daring, Senin (9/6/2025).

Anggi menyebut tiga hal krusial dalam revisi UU Kehutanan. Pertama, menghapus paradigma kolonial yang menempatkan hutan sebagai milik negara secara sepihak. Ia menyoroti klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas 106 juta hektare kawasan hutan yang disebutnya cacat prosedural dan tidak melibatkan masyarakat di tapak.

“Kawasan hutan itu legal secara dokumen, tapi tidak mendapat legitimasi sosial. Bahkan dalam setahun terakhir, anomali penetapan kawasan hutan melonjak hingga 20 kali lipat,” tegas Anggi.

Kedua, revisi UU ini harus menolak kamuflase pembangunan berkelanjutan seperti proyek swasembada pangan dan energi yang justru merampas ruang hidup masyarakat. Ketiga, pengakuan dan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terutama putusan MK No. 34, 35, 45, dan 95, harus dijamin dalam naskah UU baru.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono, menyatakan mendukung penuh revisi UU Kehutanan, dengan syarat keberpihakan terhadap masyarakat adat dan penegakan putusan MK benar-benar terwujud. “Pengelolaan hutan dan pangan harus terintegrasi dengan prinsip keadilan,” katanya.

Afifuddin dari Walhi Aceh menilai revisi ini harus berpihak pada rakyat dan ekosistem. “Jika tidak, yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis,” katanya.

Dari Kalimantan Selatan, Raden dari Walhi menilai masyarakat adat Meratus masih menjadi korban paradigma kolonial. “RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan mengakui hak-hak masyarakat Meratus yang wilayahnya dicaplok sebagai kawasan hutan,” ujarnya.

Senada, A. Syukri dari Link-Ar Borneo menyebut hutan di Kalimantan Barat tak menjamin kesejahteraan karena dikuasai logika kapital. “Hutan tanaman industri itu bukan hutan, tapi kebun monokultur. Revisi UU ini soal masa depan dan soal keadilan,” katanya.

Darwis dari Green of Borneo Kaltara menambahkan bahwa tanpa perlindungan sosial dan penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), revisi hanya akan memperluas konflik.

“Jika tidak hati-hati, RUUK bisa jadi jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan,” ujarnya.

Sementara itu, Sulfianto dari Panah Papua menolak pendekatan eksploitatif dalam RUU. “Tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, pembangunan berubah jadi penjajahan,” ujarnya.

Oscar Anugrah dari Walhi Jambi menyebut konsesi kehutanan di Jambi menjadi kedok baru perampasan hutan.

“Transisi energi seharusnya bukan alasan menggusur kebun rakyat atau membuka tambang ilegal,” tegasnya.

Di Gorontalo, Defri Setiawan dari Walhi menyebut penguasaan hutan terus berlangsung sejak zaman kolonial hingga kini dalam bentuk baru.

“RUUK harus mengoreksi ketimpangan historis, bukan memperpanjangnya atas nama transisi energi,” ucapnya.

Zul dari KORA Maluku menyoroti proyek biomassa di Pulau Buru yang menggusur ruang hidup masyarakat. “Kebijakan kehutanan tak bisa terus bias pulau besar. Masyarakat adat adalah pemilik sah hutan, bukan sekadar partisipan,” ujarnya.

Faizal Ratuela dari Walhi Maluku Utara menambahkan, proyek strategis nasional yang memanfaatkan pulau-pulau kecil tanpa mempertimbangkan ekologi dan identitas lokal berisiko tinggi.

“Yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga kesehatan dan masa depan masyarakat di garis gempa dan krisis iklim,” katanya.

Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menekankan bahwa RUUK bukan sekadar dokumen hukum, tapi refleksi keadilan dalam tata kelola.

“Kekuasaan atas hutan harus dibagi secara adil dan transparan,” tuturnya.

Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Dessy Eko Prayitno menegaskan pentingnya tata kelola hutan yang transparan dan akuntabel. “RUUK harus menjadikan pengakuan hak, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai roh dari proses pengukuhan, perizinan, hingga pengawasan,” katanya.

Revissi UU Kehutanan ini dinilai menjadi titik krusial: apakah Indonesia memilih jalan adil dan lestari, atau melanggengkan krisis ekologis atas nama pembangunan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER