Upacara peletakan batu pertama pembangunan gedung Kampus Akademi Komunitas Negeri (AKN) Pidie Jaya. Senin (12/2) menuai pro dan kontra masyarakat Aceh, khususnya Pidie Jaya dan Pidie. Kondisi itu disebabkan masuknya unsur ritual dan budaya non Islam.
Padahal, saat acara serimonial itu berlangsung tidak ada tanda-tanda munculnya polimik tersebut. Malahan langit di atas Pidie Jaya (Pijay) Provinsi Aceh, ketika itu terlihat begitu cerah, dan indah diselimuti awan putih kebiru-biruan.
Ratusan warga dengan atusias datang ke lokasi pembangunan kampus tersebut di perbukitan Gampong Baro, Kemukiman Ulee Gle, Kecamatan Bandar Dua, untuk meyaksikan langsung prosesi pembangunan gedung kampus AKN Pijay yang nantinya diharapkan dapat menjadi kampus kebanggaan daerah mereka. Namun apalacur, mereka (warga-red) kecewa karena suguhan budaya non islam diselipkan pada acara prosesi pembangunan gedung kampus bantuan Yayasan Budha Tzu Chi tersebut.
Sebelumnya di lokasi pembangunan gedung kampus AKN Pijay, para panitia terlihat sibuk mempersiapkan berbagai keperluan dan persiapan proses peletakan batu pertama pembangunan gedung kampus tersebut. Apalagi kegiatan itu dihadiri bupati Pidie Jaya H Ayub Abbas, Wakil bupati Pidie Jaya H Said Mulyadi. MSi,unsur Muspida, alim ulama serta tokoh masyarakat Pijay dan rombongan dari pengurus Yayasan Budha Tzu Chi.
Begitu bupati Pidie Jaya bersama rombongan tiba di lokasi. Acarapun dimulai layaknya acara-acara serimonial bisa, hingga berakhir dengan sukses. Akan tetapi pro dan kontra terhadap acara prosesi peletakan batu pertama bangunan gedung kampus AKN, itu muncul di Medsos.
Dimana, banyak warga net mayoritas asal Pidie Jaya (Pijay) menuliskan status di Face Book (FB) mereka, tentang acara prosesi peletakan batu pertama pembangunan kampus Akademi Komunitas Negeri (AKN), yang dinilai tidak lazim karena mengizikan dimasukanya unsur ritual ajaran agama lain selain ajaran Islam.
Zuhkri Mauluddinsyah, salah seorang tokoh muda Pidie – Pidie Jaya, menilai munculnya pendapat pro-kontra di masyarakat Aceh, khususnya Pidie Jaya dan Pidie, itu tidak terlepas dari persoalan politik hari ini di Pidie Jaya.
Dimana saat ini daerah itu sedang dalam tahapan Pilkada memilih bupati dan wakil bupati Pidie Jaya. Dimana pada Pilkada tersebut ada beberapa pangan calon bupati/wakil bupati Pidie Jaya yang muncul dan salah satunya pasangan Petahana H.Ayub Abbas- H Said Mulyadi.Msi.
Diduga kondisi ini lah, kemudian dijadikan beberapa oknum masyarakat melakukan aksi protes melalui media sosial sehingga berkembang menjadi viral. Dilihat dari Track Record Yayasan Budha Tzu Chi, terlibat dalam membantu membangun Aceh selama ini tidak ada persolan.
Misal pasca tsunami Aceh 26 Desember 2014, Yayasan ini juga pernah membangun rumah layak huni di Pante Riek Loeng Bata, Banda Aceh. Ketika itu banyak warga Aceh korban tsunami yang menghuni rumah-rumah bantuan Budha Tzu Chi. Namun hingga sekarang warga Aceh mayoritas korban bencana tsunami yang tinggal di komplek perumahan Pante Riek itu tetap istiqomah dalam aqidah islam.
“Karena menurut saya, bantuan yang diberikan oleh mereka itu bersifat kemanusian. Hanya saja nama yayasanya saja Budha Tzu Chi. Jadi muncul lah bermacam-macam prasangka,” kata Zuhkri.
Begitupun dengan pembangun gedung kampus AKN di Pidie Jaya. Menurut mantan Ketua KNPI Pidie Priode 2015-2017, itu pada awalnya tidak ada persoalan. Namun kemudian menjadi viral di masyarakat karena ada masuk unsur ritual Cina yang dinilai tidak sesuai dengan syariat islam. Apalagi sebagian dari rombongan dari pengurus Yayasan Budha Tzu Chi yang hadir di lokasi itu, terkesan tidak menghormati budaya umat islam.
Sebab sebagian diantara mereka yang perempuan mengenakan celana ketat dan tidak menutup kepala (kerudung/jilbab). Sementara, di lokasi itu hadir sejumlah pemuka agama islam serta pemimpin daerah yang sangat mereka hormati. “Namun terlepas dari itu semua, warga kecewa karena dalam prosesi peletakan batu pertama pembangunan kampus tersebut dilakukan dengan memasukan usur semacam ritual budaya Cina. Itu yang menurut saya tidak bisa diterima oleh warga setempat,” kata Zuhkri.
Padahal, lanjut Zuhkri pada peletakan batu pertama tersebut juga dilakukan ritual seperti tepung tawar, pengajian ayat suci Al-Quran. Pun begitu Zuhkri sangat berharap kepada masyarakat Aceh, khususnya Pidie dan Pidie Jaya untuk tidak mempolitisir persoalan ini, mengingat saat ini kondisi Pidie Jaya sedang dalam tahapan Pilkada.
Dikhawatirkan jika persoalan ini terus digenjot akan berdampak buruk terhadap terjadinya konflik horizontal. “Karena itu kami sangat berharap, kepada pemuda, para tokoh agama dan seluruh masyarakat, khususnya Pidie Jaya agar dapat menahan diri dan mari kita sama-sama melakukan kajian-kajian ke arah positif,” ujar Zuhkri.
Seraya melanjutkan adanya isu yang mengatakan bahwa kampus AKN Pijay akan melahirkan komunis-komunis, ini itu tidak benar. Karena kampus tersebut itu nantinya dibawah pengawasan Dikti dan dikelola oleh pemerintah Indonesia. Kampus AKN Pijay tersebut, itu nantinya akan mendidik anak-anak Aceh, khususnya Pidie Jaya untuk menjadi sarjana muda yang cerdas dan ahli dibidangnya masing-masing.
Menyusul adanya budaya ritual Cina yang masuk dalam unsur prosesi peletakan batu pertama pembangunan kampus tersebut, Pemkab Pidie Jaya telah menyerahkan persoalan itu sepenuhnya kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). “Saya yakin dan berharap para ulama dapat mengambil sikap yang terbaik. Soal rencana pembangunan gedung itu terhenti sementara, itu urusan Pemkab Pidie Jaya,” tandas Zuhkri.
Firman, salah seorang warga Meureudu, Pidie Jaya menegaskan tidak ada yang salah bagi Yayasan Budha Tzu Chi membantu membangun gedung kampus AKN Pijay. Malah ia sebagai masyarakat Pidie Jaya sangat berterima kasih atas batuan yang diberikan tersebut. Meski diakuinya dalam prosesi peletakan batu pertama, itu diselipkan unsur budaya non islam.. Firman dengan tegas menyatakan tidak setuju dan sedih, kita harus melihat beberapa pemuka agama islam yang duduk dengan wajah melongok melihat para pengurus Yayasan Budha Tzu Chi, itu melakukan ritual.
Namun rasa kecewa dan sedih itu cepat-cepat dibuang dalam benaknya dan baginya, itu bukan suatu masalah, karena itu mungkin keharusan bagi donatur yang mayoritas bukan beragama islam melakukan ritual tersebut untuk mencapai keberkahan bagi mereka sesuai dengan budaya dan agama mereka anut. “Kalau bantuan ini kita, tolak. Lantas apa solusinya supaya bangunan itu dapat berdiri. Ini cambuk bagi pemimpin dan yayasan-yayasan Islam supaya lebih perhatian dan lebih peduli lagi terhadap lembaga pendidikan di Aceh,” katanya. ***
Penulis: Muhammad Riza