Selain sebagai titik miqat, juga memiliki nilai historis bagi perjuangan Islam di masa Rasulullah Muhammad SAW. Di tempat inilah terjadi perjanjian Hudaibiyah antara Muslimin dan Musyrikin Quraisy, untuk gencatan senjata selama 10 (sepuluh) tahun.
Penulis: Makmur Ibrahim
Di sela-sela melaksanakan ibadah haji dan umrah 1440 H/ 2019 M, para jamaah haji Kloter BTJ-04 Banda Aceh/Aceh Besar, memanfaatkan waktunya untuk berziarah atau napak tilas jejak Nabi Muhammad SAW di Masjid Hudaibiyah dan Kota Ta’if (Thaif).
Masjid Hudaibiyah adalah tempat bersejarah, yang memiliki benteng Hudaibiyah. Itu menjadi daya tarik tersendiri bagi jamah haji yang ingin wisata rohani. Sekaligus para jamaah dapat memilih tempat mula (miqat) berumrah sunat dari Masjid Hudaibiyah yang letaknya 38 Km dari kota Makkah, yang dapat ditempuh dari jalan Jeddah lama.
Masjid Hudaibiyah ini, selain sebagai titik miqat, juga memiliki nilai historis bagi perjuangan Islam di masa Rasulullah Muhammad SAW. Di tempat inilah terjadi perjanjian Hudaibiyah antara Muslimin dan Musyrikin Quraisy, untuk gencatan senjata selama 10 (sepuluh) tahun.
Terdapat butir-butir penting dalam perjanjian Hudaibiyah, yang akhirnya menjadi titik tolak untuk menaklukkan Kota Makkah dari kekuasaan Musyrikin. Ketika itu Musyrikin ditengarai melakukan penyerangan atas sekutu Muslimin, yang seharusnya tindakan itu tidak boleh dilakukan selama perjanjian Hudaibiyah berlaku.
Penaklukan yang dikenal sebagai Fatkhul/Fathu Makkah (pembebasan Makkah) merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M, tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan 8 H. Nabi Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Makkah, dan kemudian menguasai Makkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah. Inilah awal Muslimin dapat menguasai kota dengan Ka’bah dan Masjidil Haram. Setelah penaklukan ini, kaum Muslimin menghancurkan berhala-berhala jahiliyah di sekitar Ka’bah.
Kota Ta’if, Desa Para Raja (Qaryah Al Mulk)
Selain wilayah Hudaibiyah, tidak kalah menarik, para jamaah haji dapat berziarah jejak nabi di kota Ta’if (Thaif). Ta’if adalah salah satu kota di Provinsi Makkah, Arab Saudi, terletak pada ketinggian antara 1.700-1.879 m (dpl) di lereng pegunungan Sarawat.
Ta’if, kota dengan luas 321 km2, didiami oleh 579.970 jiwa (sensus 2010). Bila musim panas tiba di Riyadh, pemerintahan Arab Saudi pindah ke Ta’if. Kota ini juga merupakan pusat area agrikultur yang terkenal dengan anggur dan madunya. Anggur dan madu yang merupakan kesenangan Raja-raja Arab Saudi secara turun temurun. Kota ini mendapat tambalan julukan sebagai kota Ta’if, “Qaryah Al-Mulk” yang berarti Desa Para Raja. Lantaran para Amir, keluarga Raja Arab Saudi, banyak membangun tempat peristirahan di Kota Ta’if.
Kota Ta’if ini kerap diziarahi oleh jamaah haji yang datang dari seluruh dunia. Selain wilayahnya sejuk dengan hembusan angin yang dingin, juga karena menyimpan jejak syiar dan ujian Rasulullah Muhammad SAW, saat beliau menyebarkan agama Islam di wilayah ini.
Kota Ta’if dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu tempuh selama lebih kurang 1 jam 50 menit dari Makkah. Selain jalannya yang lebar, di area tertentu terdapat tempat khusus untuk menepi, berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan bukit berbatu. Meskipun tandus, tapi hembusan angin yang sejuk sangat dinikmati. Ta’if juga menyediakan tempat kuliner di pusat perbelanjaan yang ramai. Saat masuki pintu gerbang Kota Ta’if, pengunjung akan melihat pasar buah segar beraneka jenis. Mulai buah delima, anggur, tin, jeruk dan kurma muda. Bagi pengunjung yang ingin menunggang unta, tinggal membayar biaya sewa seharga 10 Riyal.
Jalan menuju Ta’if, khususnya ketika melewati pegunungan Asir dan pegunungan Al Hada, berkelok-kelok, panjang dan menanjak mengelilingi pinggiran pegunungan hingga puncaknya. Puncak pegunungan di sini berbeda dengan pegunungan yang umumnya ada di Indonesia. Pegunungan di Ta’if relatif tidak ada pepohonan atau tandus, berbatu dan berpasir.
Tapi ketika memasuki Kota Al Hada jelang Kota Ta’if, sepanjang jalan baru ditemukan sejumlah pepohonan dan perkebunan kurma. Beberepa rumah tradisional juga berdiri di tengah-tengah perkebunan itu. Di sepanjang jalan ini juga dipenuhi sejumlah tempat wisata bagi penduduk lokal.
Sebagai kota dengan julukan “Qaryah Al-Mulk”, dengan fasilitas hotel berbintang empat dan lima, maka di kota ini sering diselenggarakan sebagai tempat pertemuan dan perjanjian bilateral, regional dan internasional.
Perjuangan Pahit Rasulullah Muhammad SAW
Ta’if dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke Ta’if untuk melaksanakan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619 Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW pada 620 Masehi.
Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah, orang yang disegani oleh kaum musyrik Qurais, membuat kaum itu semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Karena itu, jika warga Kota Ta’if mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.
Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat, secara diam-diam dan dengan berjalan kaki, Rasulullah mencoba pergi ke Ta’if untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Rasulullah tinggal di Ta’if selama sepuluh hari untuk berdakwah dan meminta perlindungan. Namun, ternyata penduduk Ta’if melakukan penolakan dan memperlakukan Rasulullah dengan kasar.
Saat itu, kaum Tsaqif melempari Rasulullah SAW, sehingga kakinya terluka. Tindakan brutal penduduk Ta’if ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya, Rasulullah berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.
Saat itu, Rasulullah SAW berdoa, “Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Tentu semua kita begitu memahami betapa beratnya cobaan Rasulullah SAW saat itu dalam menghadapi penganiayaan, tapi Rasulullah menerimanya dengan penuh ridha, ikhlas dan sabar, serta tidak pernah berputus asa. Seperti sejumlah cerita yang diriwayatkan kembali Ulama Hadist terkenal, Imam Bukhari dan Muslim dari Asiyah RA (istri kedua Rasulullah SAW).
Ia (Aisyah) berkata, “Wahai Rasulullah SAW, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi SAW, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah SAW melanjutkan.
“Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “ Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Jawab Rasulullah SAW, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ Subhanallah!
- Makmur Ibrahim, S.H.,M.Hum, adalah Ka.Kanreg XIII BKN Prov.Aceh/mantan Kabiro Humas dan Hukum Setda Aceh)