“Menurut informasi yang kita terima, hampir 3.000 lebih judul naskah kuno kita masih ada di masyarakat, sementara anggaran ganti ruginya juga bisa mencapai miliaran”
—Pustakawan Utama DPKA M. Yusuf—
Di antara koleksi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, salah satunya naskah kuno atau manuskrip menyimpan informasi pengetahuan mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat di masa lampau. Naskah kuno dinilai penting sebagai bukti sejarah karya cedekiawan terdahulu, suatu kebanggaan warisan budaya yang sangat berharga.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr. Edi Yandra, S. STP, MSP, mengatakan, pemerintah saat ini telah mempunyai perhatian besar terhadap koleksi naskah kuno. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), berupaya untuk menginventarisasi naskah-naskah arsip kuno tersebut untuk dijaga serta dirawat dengan baik.
Di Perpustakaan Aceh sedikitnya menyimpan 236 judul manuskrip asli yang langka dan berharga. Ratusan naskah itu sudah dikumpulkan oleh DPKA sejak tahun 2018.
Di lantai 3 Perpustakaan Aceh ini, tersimpan manuskrip kuno yang termasuk kekayaan intelektual dari para ulama terdahulu. Karya tersebut memiliki peran penting dalam mendorong kebangkitan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam di masa silam.
Pustakawan pada DPKA M. Yusuf memperlihatkan sejumlah koleksi dokumen antik tersebut. Sebagian naskah kuno yang tersusun rapi berbungkus plastik itu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya.
Manuskrip-manuskrip itu sudah berumur ratusan tahun, terdiri dari beberapa jenis gubahan karya, seperti Fiqih, Tasawuf, Karya Sastra/Syair (hikayat), serta pengobatan. Lembarannya sudah lapuk dan usang, sisi pinggirnya sudah berlubang dimakan serangga.
M. Yusuf mengatakan, hingga saat ini naskah kuno yang telah terkumpul dengan biaya ganti rugi mencapai Rp3 miliar. Naskah itu dikumpulkan dari masyarakat yang juga ditemukan masyarakat dari daerah terpencil di Aceh.
“Menurut informasi yang kita terima, hampir 3.000 lebih judul naskah kuno kita masih ada di masyarakat. Anggaran ganti ruginya juga bisa mencapai miliaran,” kata M.Yusuf saat ditemui Waspadaaceh.com, pada Rabu (17/11/2022) di ruang Pelestarian Bahan Pustaka Perpustakaan Aceh.
Di antara manuskrip yang disimpan oleh Perpustakaan Aceh adalah berupa syair Abdul Qadir Jailani. Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, ditulis dengan jenis khat naskhi beralas kertas Eropa.
Lanjut Yusuf, usia yang terus menua membuat manuskrip itu rentan rusak. Apalagi ketika manuskrip itu berada di area lembab. Oleh sebab itu, manuskrip tersebut tidak bisa di sembarangan tempat, karena perlu perawatan khusus.
DPKA juga sudah mengajukan permohonan kepada pusat berupa sarana prasarana terutama untuk penyediaan tempat displai naskah kuno agar terjaga dengan baik dan bisa dilihat oleh siapapun yang mengunjungi tempat itu.
“Dari beberapa naskah kini kondisinya sudah banyak rapuh, sehingga perlu digitalisasi agar selamat serta lestari. Dan pengunjung tetap bisa membaca seluruh isinya,” kata Yusuf.
DPKA berusaha melestarikan manuskrip kuno itu dengan mengonversikan dalam bentuk digital. Manuskrip itu dikatalogkan secara online dan ada yang berbentuk video. Digitalisasi ini dinilai penting agar bisa diakses oleh siapapun dengan mudah tanpa menyentuh manuskrip aslinya.
“Dari 236 naskah, sekitar 74 naskah di antaranya sudah didigitalkan, baik oleh Perpustakaan Nasional maupun oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh,” jelas Yusuf.
Selain itu, pihaknya juga berencana akan menulis ulang naskah itu atau membuat salinan ulang. Lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, supaya bisa dipelajari oleh generasi saat ini.
Di Perpustakaan Aceh, pengunjung sebenarnya juga dapat melihat dokumen-dokumen antik tersebut secara online. Di ruang tersebut didesain begitu nyaman, tersedia beberapa komputer untuk mengakses dokumen naskah kuno secara digital. Melalui situs resmi Perpustakaan Nasional, pengguna internet di mana pun dapat melihat ribuan manuskrip kuno yang telah dibuat dalam format digital.
Di ruang tersebut juga tersedia pojok baca naskah nusantara. Naskah dari berbagai provinsi di Indonesia itu yang sudah dialihaksarakan sebanyak 10 judul yang dicetak sebanyak 490 eksemplar. Selain itu pengunjung juga bisa melihat sebanyak 94 koleksi buku bahasa Belanda.
M. Yusuf mengatakan dengan keberadaan kelengkapan sumber pustaka tersebut dan pemeliharaan yang baik, maka masyarakat Aceh terutama para peneliti dan akademisi mendapat bukti otentik dan sumber yang terpercaya untuk penyusunan sebuah karya tulis sejarah. (Adv)