Senin sore itu, 10 Mei 2020, jelang waktu berbuka puasa. Dari Kota Medan, melalui jalan tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung Morawa), penulis memacu mobil di tengah guyuran hujan. Sebuah perjalanan untuk urusan jurnalistik memantau kondisi Jalinsum di tengah pandemi virus Corona, yang semakin mengkhawatirkan.
Beberapa menit sebelumnya, ketika di gerbang tol (GT) Mabar (antara Medan – Belawan), masih banyak kendaraan pribadi yang masuk dan melintas. Di sini dikenal sebagai salah satu lokasi kawasan industri KIM (Kawasan Industri Medan). Pantas saja, lalulintas masih cukup ramai karena bertepatan dengan jam pulang kantor atau berakhirnya jam kerja pabrik.
Namun, ketika telah melalui 10 hingga 20 Km perjalanan, lalulintas kendaraan perlahan mulai sepi. Hanya truk dengan tonase besar yang tampak melintas hingga ke pintu keluar GT Amplas. Kendaraan yang masuk dari GT Amplas juga sepi.
Mobil penulis hanya beberapa menit kemudian, sudah terhubung dengan jalan tol MKTT (Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi), untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Kisaran, ibukota Kabupaten Asahan. Sama seperti di tol Belmera, jalan tol menuju Tebing Tinggi juga sepi dan terasa sunyi. Rest Area yang tersedia di sisi kiri dan kanan jalan tol, juga terlihat sepi. Hingga ke pintu gerbang tol keluar “Kota Lemang” Tebing Tinggi.
Sepanjang jalan, jumlah kendaraan yang melintas sangat sedikit, jauh dari hari biasanya. Angkutan umum seperti bus atau minibus juga terlihat hanya 1 – 2 unit yang melintas. Itupun hanya terisi beberapa penumpang di dalamnya. Bus penumpang dengan kapasitas 16-20 orang, juga terlihat hanya ada 2 unit yang melintas di jalan lintas Sumatera (Jalinsum). Beberapa unit tampak teronggok di pinggir jalan, menunggu penumpang yang tak kunjung datang.

Memang, sejak Pandemi Corona atau COVID-19 merebak di Provinsi Sumatera Utara, mobilitas kendaraan dan warga menurun drastis. Operasional angkutan rakyat (masal) Kereta Api di Sumut juga berhenti beroperasi. Bus AKAP ataupun AKDP juga banyak mangkal di stasiun bus tidak beroperasi.
Dampaknya sangat besar. Pengiriman barang yang biasanya bisa memanfaatkan bus dan kereta api juga terhenti. Angkutan barang kini hanya bisa dilakukan melalui jasa perusahaan ekspedisi barang melalui truk atau kontainer. Jika pun ada bus beroperasi, namun minat warga untuk melakukan perjalanan juga sangat minim. Warga takut, karena potensi penyebaran virus disebut-sebut sangat rentan pada angkutan umum.
Begitu pun, bagi seorang wartawan, tugas jurnalistik untuk memantau situasi Jalinsum di tengah pandemi, harus dijalankan. Apalagi, sebenarnya saat ini sudah libur sekolah panjang sejak bulan Maret lalu. Kondisi ini sangat jauh berbeda, di tahun lalu saat memasuki bulan Ramadhan, banyak kendaraan lalu lalang di Jalinsum dengan berbagai tujuan, baik mudik atau liburan.
Saat di pertigaan Simpang Beo, Kota Tebing Tinggi, juga terlihat sangat sepi. Polisi terlihat berjaga-jaga di simpang itu. Hingga menuju ke Jalinsum arah timur ke Kabupaten Batubara, juga terlihat sangat sepi, meski waktu masih menunjukan pukul 20.00 WIB.
Kesunyian di jalan hanya diisi truk besar yang melintas dan beberapa kendaraan pribadi. Truk tonase besar juga terlihat lebih banyak menepi di pinggir jalan atau di area SPBU. Puluhan SPBU di sepanjang Jalinsum tetap buka, namun nyaris kosong melompong.
Begitu juga situasi dan kondisi memasuki kawasan Kabupaten Asahan. Lalulintas tetap lengang, bahkan menakutkan saat melintas di daerah perkebunan. Soalnya di kawasan seperti ini tidak terlihat ada rumah penduduk, kecuali hanya pepohonan sawit atau karet. Jadi kekhawatiran terjadi kejahatan bisa mungkin terjadi di daerah-daerah sepi seperti itu.
Wajar truk muatan tonase besar lebih memilih menepi di pinggir jalan atau di area SPBU untuk beristirahat agar bisa melanjutkan perjalanan pada pagi hari. Salah satunya, menghindari aksi kriminal “bajing loncat” — sebutan untuk pelaku pencurian barang dari atas truk di jalanan menggunakan sepeda motor. Mereka ini cukup berani naik ke atas truk yang sedang berjalan, dan mencuri barang-barang dari dalam truk. Potensi itu bisa terjadi, karena jalanan sepi.
“Kita lebih aman jalan pagi sampai sore aja bang. Menghindari bajing loncat. Karena jalan sunyi, tidak ada kendaraan lewat. Kalau terjadi apa-apa kita tidak bisa minta tolong. Pos polisi lokasinya masih jauh. Jadi, kita pilih aman saja,” ungkap Slamet kepada waspadaaceh.com.
Slamet adalah sopir truk ekspidisi barang tujuan Palembang. Dia memarkir truknya di di SPBU kawasan Indrapura, Kabupaten Batubara. Wajah Slamet tampak lelah. Puluhan tahun bekerja sebagai sopir truk, kondisi seperti sekarang, sampai berbulan-bulan lamanya, baru kali ini dia alami.
“Kalau dulu, waktu kerusuhan 98, pernah sepi seperti ini, tapi hanya seminggu. Sekarang sudah lebih 2 bulan masih seperti ini. Gak tau kapan berakhir,” lanjutnya.
Secara ekonomi dan sosial, kondisi saat ini jelas berdampak. Baik rumah makan, toko roti, warung kopi, warung sembako ataupun mini market. Jalanan yang sunyi, yang berarti orang melintas sangat sedikit, membuat dagangan mereka tidak terjual. Perputaran uang dan aktifitas ekonomi juga terbatas. Secara sosial, masyarakat juga menghindari untuk berkumpul, mengunjungi keluarga, bahkan menghindari mengunjungi orang tua di kampung.
Prioritas warga saat ini juga hanya untuk selamat dari paparan virus Corona, dan bisa memenuhi kebutuhan pokok. Masyarakat menghindari jajanan atau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan utama.
Entah sampai kapan situasi seperti ini terjadi. Padahal, lebaran Idul Fitri sudah di depan mata, tinggal menghitung hari. Tapi tentu saja kita semua berharap, hal ini segera berakhir. Semoga. (sulaiman achmad)