“Hutan Aceh menjadi benteng terakhir dan habitat penting bagi mega-biodiversity atau keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna hutan alam tropis di Pulau Sumatera”
———————
Oleh: Dahlan Jamaluddin, S.IP
Tulisan ini saya ulas dari kata sambutan saya selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), di acara penyerahan piagam penghargaan dukungan konservasi satwa liar di Aceh, oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Acara penyerahan penghargaan ini diselenggarakan di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, pada Selasa 4 Agustus 2020.
Penghargaan dari Direktur Jenderal KSDAE, Ir.Wiratno, MSc, diberikan juga kepada PYM. Wali Nanggroe Aceh, Plt. Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Panglima Kodam Iskandar Muda, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dan pihak lain.
Patut kita syukuri karena penghargaan yang diberikan ini sebagai bentuk pengakuan pemerintah pusat kepada instansi pemerintahan di Aceh dan organisasi non pemerintah maupun jurnalis yang telah berkomitmen dan berkontribusi terhadap perlindungan sumberdaya alam dan satwa liar dari tahun 2017 hingga 2020.
Peran Aceh dalam pelestarian hutan sangat penting karena Aceh memiliki kawasan hutan dan konservasi perairan seluas 3,5 juta hektare, atau 3,3 juta hektare (58%) wilayah daratan Aceh saat ini merupakan kawasan hutan, dengan tiga fungsi sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Dengan seluas itu dan relatif masih baik, hutan Aceh menjadi benteng terakhir dan habitat penting bagi mega-biodiversity atau keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna hutan alam tropis di Pulau Sumatera.
Hanya hutan Aceh yang memiliki empat spesies kunci dalam satu bentang ekosistem, yakni gajah sumatera, orang utan, badak sumatera, dan harimau sumatera. Hal tersebut sebagai bukti dan indikator bahwa hutan Aceh masih memiliki daya dukung yang cukup memadai sebagai habitat penting bagi keanekaragaman hayati dan plasma nutfah (sumber kehidupan).
Di tengah kelebihan yang disebutkan di atas, bukan berarti hutan di Aceh tidak memiliki ancaman. Deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi setiap tahunnya yang diduga menjadi penyebab terjadinya bencana ekologi di Aceh. Belum lagi perburuan liar yang masih marak yang berakibat pada meningkatnya konflik satwa dengan manusia di Aceh.
Di tengah deforestasi dan degradasi yang masih terjadi, komitmen Pemerintah Aceh dalam melindungi dan melestarikan hutan Aceh tidak perlu diragukan lagi. Bagi kami, melindungi hutan alam dan keanekaragaman hayati merupakan kebutuhan dasar. Kebutuhan untuk kelangsungan kehidupan ke depan dan sebagai legacy atau warisan yang mesti kita tinggalkan bagi generasi selanjutnya yang telah menjadi amanah dan kearifan lokal para endatu di Aceh.
Aceh merupakan provinsi yang memiliki Otonomi Khusus dan memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan hutan Aceh, sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Secara operasional terkait pengelolaan hutan, kewenangan tersebut telah dirumuskan dalam Qanun Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh dan secara khusus terkait konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya juga telah diatur dalam Qanun Nomor 11 tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar.
Selaku pimpinan dewan, bersama anggota dewan lainnya, kami akan terus mendorong dan mengawasi pihak eksekutif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan melalui perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Tindakan konkret untuk mereduksi deforestasi dan degradasi hutan, adalah melalui pemulihan spesies kunci, optimalisasi manfaat hutan dan hasil hutan secara berkelanjutan. Selain itu rehabilitasi dan meningkatkan tutupan hutan serta mendorong akses kelola masyarakat dalam pengelolaan hutan, yang merupakan beberapa program penting yang telah termuat dalam perencanaan pembangunan Aceh, sehingga tidak ada alasan untuk tidak dapat dijalankan.
Selain beberapa kebijakan strategis di atas, tentunya kami juga berharap Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat terus memberi dukungan terhadap komitmen Aceh dalam upaya perbaikan dan peningkatan tata kelola hutan Aceh untuk kemanfaatan masyarakat Aceh. Salah satunya adalah mewujudkan keinginan masyarakat Aceh untuk mengembalikan operasional Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ke Aceh, mengingat wilayah kerjanya hampir secara keseluruhan berada di Aceh.
Selain hal tersebut, juga agar bisa difasilitasi untuk pembentukan unit pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Manggala Agni) di Aceh, mengingat wilayah Aceh memiliki hutan dan lahan gambut yang cukup luas dan rentan terhadap kebakaran. Namun sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum membentuk unit Manggala Agni di Aceh.
Berbeda dengan provinsi tetangga (Sumatera Utara), yang bahkan telah memiliki 3 unit Manggala Agni, yang kerap kali harus dimobilisasi ke Aceh untuk membantu penanganan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sehingga menjadi sangat tidak efektif. Di Sumatera hanya 4 provinsi yang memiliki Manggala Agni, selain Sumut, di Riau ada 5 unit Manggala Agni, di Jambi ada 3 unit, dan di Sumatera Selatan ada 4 unit.
Melalui tulisan ini kami berharap pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat terus mendukung dan membantu Pemerintah Aceh dalam pengelolaan hutan Aceh berbasis konservasi sumberdaya alam dan ekosistem sesuai dengan kewenangan yang Aceh miliki. Perbaikan dan penguatan tata kelola kehutanan Aceh, membangun sinergisitas dan peningkatan kapasitas pengelola yang memahami karakteristik serta kewenangan Aceh, menjadi kunci penting bagi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat Aceh secara bermartabat.
Semoga Allah SWT melimpahkan kepada kita semua hikmah dan kebijaksanaan, kekuatan dan kesabaran dalam menggapai pembangunan Aceh berbasis konservasi sumberdaya alam dan ekosistem. (**)
- Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)