Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sedikitnya 28 paket proyek tahun jamak 2020-2022 senilai Rp2,6 triliun dari Pemerintah Aceh, telah disepakati tanpa pembahasan di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh).
Berdasarkan analisa terhadap sejumlah dokumen oleh Lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dijelaskan, puluhan paket tersebut mula-mula diusulkan Pemerintah Aceh ke Ketua DPRA, awal September 2019 lalu.
“Proyek tersebut untuk pembangunan skala besar berupa pembangunan jalan dan irigasi yang akan dilaksanakan bertahap, diusulkan oleh Dinas PUPR Aceh,” kata Koordinator Advokasi Kebijakan Publik MaTA, Hafidh, dalam konferensi pers, Rabu (5/2/2020).
Usulan itu lalu diteruskan pimpinan DPRA ke Komisi IV yang membidangi urusan pembangunan dan tata ruang. Namun, pada 9 September 2019, ketua komisi Anwar Ramli menolak untuk memberikan rekomendasi atas usulan itu.
“Komisi IV menegaskan perlunya pendalaman dan pembahasan bersama oleh semua anggota DPRA,” tambah dia. Sedangkan alasan lainnya, masih ada ruas jalan lain yang jadi kewenangan Pemerintah Aceh yang lebih mendesak dan perlu anggaran besar.
Berita Lainnya: Blacklist di Toba Samosir, Malah Melenggang Ikut Tender di Aceh
Namun belakangan, Pemerintah Aceh dan pimpinan DPRA langsung menyepakati usulan proyek tersebut, sehari usai sanggahan Komisi IV.
Kesepakatan itu tertuang dalam surat kesediaan untuk mengalokasikan anggaran pada APBA. Sementara, dari usulan awal senilai Rp2,7 triliun, kedua pihak akhirnya menyepakati anggarannya menjadi Rp2,6 triliun.
Proyek tersebut berupa pembangunan, peningkatan serta pengawasan meliputi:
– Jalan Jantho – Batas Aceh Jaya,
– Jalan Simpang Tiga Redelong – Pondok Baru – Samar Kilang,
– Jalan Peureulak – Lokop – Batas Gayo Lues,
– Jalan Batas Timur – Pining – Blangkejeren,
– Jalan Batas Aceh Timur – Kota Karang Baru,
– Jalan Blangkejeren – Tongra Batas Abdya,
– Jalan Babahrot – Batas Gayo Lues,
– Jalan Trumon – Batas Aceh Singkil,
– Jalan Batas Aceh Selatan – Kuala Baru – Singkil Telaga Bakti,
– Jalan Sinabang – Sibigo,
– Jalan Nasreuhe – Lewak – Sibigo,
– Bendungan Irigasi Sigulai di Kabupaten Simeulue.
Proyek yang disebut terakhir, Bendungan Irigasi di Simeulue, termasuk usulan di luar daftar yang diajukan Pemerintah Aceh sebelumnya.
“Pengesahannya sangat tertutup dan terkesan dipaksakan, karena tidak dibahas lebih dulu,” kata Hafidh.
MaTA melihat proses yang tidak prosedural itu akan menguak potensi tindak pidana korupsi, yakni peluang adanya komitmen fee. “Ini bisa terjadi dalam persetujuan di level pimpinan DPRA.”
Proses itu juga dianggap bertentangan dengan PP 12/2019, yang mensyaratkan persetujuan bersama kepala daerah dan DPRD. “Namun, pimpinan DPRA telah mengabaikan rekomendasi dari Komisi IV,” ujar Hafidh.
Karena itu, MaTA mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelaah proses penganggaran tersebut. Tak hanya itu, pihaknya juga meminta DPRA mengevaluasi kembali kesepakatannya bersama Pemerintah Aceh.
MaTA juga meminta Unit Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ) menghentikan proses lelang untuk 12 paket proyek tersebut.
“Jangan sampai ada permasalahan hukum di kemudian hari, yang akhirnya merugikan masyarakat Aceh,” tandasnya. (Fuadi)