Banda Aceh (Waspada Aceh) – Pasca terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018, Pemerintah Aceh dinilai belum mengambil sikap apapun.
Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Aceh, M Nur menjelaskan, reforma sejatinya untuk penataan ulang struktur agraria yang timpang. Reforma tersebut juga bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah untuk menangani sengketa dan konflik agraria.
“Caranya melalui redistribusi tanah yang berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) dan HTI yang telah habis izin ataupun ditelantarkan,” kata M Nur dalam siaran persnya, Senin (11/3/2019).
Berdasarkan catatan Masyarakat Sipil Aceh, saat ini masih banyak terjadi konflik agraria di Aceh, terutama konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemegang HGU maupun HTI.
Sementara itu, potensi lahan yang dapat dijadikan objek Reforma Agraria seluas 370 ribu Ha berasal dari HGU dan HTI akan habis izin dan terlantar, serta rentan berkonflik dengan masyarakat. Belum termasuk wilayah konsesi tambang yang telah dicabut izinnya oleh Plt Gubernur.
M Nur menyatakan, konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan terjadi hampir di semua kabupaten, terutama dengan perkebunan sawit.
“Kondisi ini tentu harus segera disikapi oleh Pemerintah Aceh agar tidak menjadi permasalahan yang lebih besar lagi,” sebutnya.
Peluang penyelesaian konflik melalui skema reforma agraria, sambung M Nur, harus dilakukan secara serius dengan melibatkan semua pihak mulai dari eksekutif, legislatif, akademisi, swasta dan masyarakat sipil.
Semangat Damai MoU Helsinki
Dalam kegiatan FGD (focus group discussion) Reforma Agraria yang dilaksanakan di kantor Walhi Aceh, 8 Maret 2019, Walhi bersama lembaga lain; LBH Banda Aceh, JKMA, Bytra dan GeRAK, sepakat untuk mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil langkah konkrit dalam mengimplementasikan agenda reforma agraria di Aceh.
“Pelaksanaan reforma agraria di Aceh hendaknya harus disinergikan dengan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Sebab ada banyak perusahaan sawit yang sedang dalam proses pengurusan perpanjangan izin,” kata M Nur.
Dia melanjutkan, surat Sekda Aceh Nomor 540/1112 tentang tindak lanjut Sektor Pertambangan Mineral Logam dan Batubara Serta Perkebunan Sawit tanggal 24 Januari 2019, hendaknya diterjemahkan sebagai respon terhadap Inpres tersebut. Sehingga semangat yang dibangun bukan pada penerbitan izin baru, tetapi menjadikan lahan bekas perusahaan yang telah habis izin ataupun terlantar sebagai objek reforma agraria.
Implementasi reforma agraria di Aceh, tambah M Nur, juga harus menjadikan kesepakatan damai Pemerintah RI dan GAM (MoU Helsinski) sebagai salah satu rujukan membuat kebijakan. Sehingga redistribusi lahan tidak hanya menyasar masyarakat miskin/petani gurem, tetapi juga masyarakat terdampak konflik di Aceh. (Fuadi)