“Pemerintah Aceh dalam beberapa tahun terakhir, terus menggenjot pembangunan infrastruktur antar desa secara merata di seluruh Aceh. Salah satunya dengan membangun jembatan penghubung, tidak saja untuk membuka isolasi, tapi juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di seluruh pelosok daerah Aceh”
Tingkat persebaran penduduk di berbagai wilayah di Aceh menuntut rentang kendali yang optimal. Hubungan antar individu, masyarakat, hingga pemerintah bisa berjalan baik jika didukung konektivitas. Baik itu berupa akses informasi maupun infrastruktur yang memadai.
Konektivitas antar-wilayah adalah pilihan utama untuk menjembatani berbagai arus informasi dan berbagai kebutuhan pembangunan lainnya, kata pakar ekonomi nasional, Simon Pieter Soeijono. Peran infrastruktur di sini penting guna mempermudah akses masyarakat dan mengangkat potensi lokal yang ada sehingga menumbuhkan pusat ekonomi baru.
Pengembangan konektivitas menjadi salah satu prioritas Pemerintah Aceh, sebagaimana telah disampaikan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, kala memimpin Delegasi Republik Indonesia pada Pertemuan Tingkat Menteri dan Gubernur (CMGF) dalam Kerjasama Segitiga Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT), September 2019, di Thailand.
Kendati puas pada kemajuan konektivitas udara di beberapa kota di Sumatera, seperti Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, dan lainnya, Nova juga masih terus mengajak sektor swasta, terutama di sektor penerbangan untuk membuka jalur konektivitas baru antara Banda Aceh – Phuket – Penang, yang diharapkan mampu menyumbangkan pertumbuhan ekonomi signifikan bagi Aceh di sektor pariwisata.
Tak hanya untuk terhubung dengan kawasan luar, di Aceh sendiri, Pemerintah Aceh dalam beberapa tahun terakhir, terus menggenjot pembangunan infrastruktur antar desa secara merata di seluruh Aceh.
Salah satunya dengan membangun jembatan penghubung, tidak saja untuk membuka isolasi, tapi juga akan mendukung pertumbuhan ekonomi di pelosok daerah Aceh.
Pada tahun 2018 saja, pemerintah telah membangun empat jembatan gantung. Empat jembatan gantung yang dibangun dengan dana APBN, yaitu jembatan gantung Pante Kala (60 meter) di Kabupaten Aceh Barat Daya dengan anggaran Rp4,3 miliar, jembatan gantung Tanjong Dalam (72 meter) di Kabupaten Aceh Utara dengan anggaran Rp5,14 miliar dan jembatan gantung Gunung Setan (72 meter) di Kabupaten Aceh Utara dengan anggaran Rp6,16 miliar.
Satu jembatan lagi, jembatan gantung Sikundo (90 meter) di Kecamatan Pantee Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, pembangunannya berbiaya Rp3,74 miliar.
Sementara di awal tahun 2019, pemerintah telah menargetkan pembangunan jembatan gantung di Aceh sebanyak sembilan unit. Enam unit didanai oleh APBN dan tiga unit didanai dari APBA.
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional I Banda Aceh, Achmad Subki mengatakan, enam jembatan gantung yang didanai APBN, yakni jembatan gantung Geunie (42 meter) di Kabupaten Pidie Jaya, jembatan gantung Alur Ngang (60 meter) di Kabupaten Gayo Lues, jembatan gantung Blang Panu (120 meter) dan Keude Trumon (90 meter) di Kabupaten Aceh Selatan serta diusulkan juga jembatan gantung Blang Brandeuh (90 meter) di Kabupaten Nagan Raya dan jembatan gantung Siron (120 meter) di Aceh Besar.
Sedangkan tiga jembatan gantung yang akan dibangun dengan dana Otsus Aceh terletak di Aceh Barat, yakni Seurendek-Tanoh Mirah (150 meter), Baro-Sipot (150 meter) dan jembatan gantung Pulo Teungoh-Dusun Sengkadeh (30 meter).
Pada Agustus lalu, Pemerintah Aceh membangun jembatan bailey yang menghubungkan Desa Lesten di Pining Kabupaten Gayo Lues dengan Desa Pulo Tiga, di Aceh Tamiang. Pembangunan jembatan rangka baja itu dinilai bisa memotong rantai pasok hasil bumi/alam yang diangkut dari Kabupaten Gayo Lues.
Diharapkan jarak tempuh ke Medan melalui Aceh Tamiang akan lebih singkat, sehingga komoditi hasil bumi yang ada di daerah tersebut bisa dibawa keluar dengan harga angkut yang lebih murah. Hal itu tentu akan memberikan keuntungan bagi masyarakat yang tinggal di daerah itu.
Membangun Konektivitas Kepulauan
Untuk kawasan pulau, pada Maret 2019, Pemerintah Aceh melalui Dishub Aceh menyiapkan Program Prioritas Konektivitas antar Wilayah untuk mengatasi beberapa permasalahan pokok masyarakat Aceh Singkil, khususnya di Pulau Banyak.
Di tahun 2019, Dishub Aceh menganggarkan Multi Years Contract pengadaaan kapal Ro-Ro (Roll On-Roll Off) kapasitas 600GT untuk penyeberangan orang serta kendaraan dan barang untuk Singkil-Pulau Banyak. Dishub Aceh juga menganggarkan sejumlah dana untuk rehab talud pengaman dan menambah panjang gangway di Pelabuhan Penyeberangan Singkil.
Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, berharap persepsi terhadap Pulau Banyak sebagai tempat yang jauh dari ibu kota kabupaten dapat dihilangkan, dengan hadirnya sarana konektivitas. Sebab nantinya masyarakat akan lebih mudah menjangkau kawasan yang selama ini relatif agak terisolasi karena kondisi geografisnya.
Beralih ke Pulau Sabang, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) juga berencana akan membangun jembatan penghubung antara Pulo Breuh dan Pulo Nasi. Jembatan penghubung itu akan dibangun sepanjang 430 meter pada pada tahun 2020 mendatang. Sementara DED (Detail Engineering Design)- nya telah rampung sejak 2015.
Jembatan yang diberi nama “Aroih Lampuyang” itu akan menghubungkan dua pulau, yakni Pulau Breuh dengan Pulau Nasi. Jarak kedua pulau ini hanya sekitar 250 meter melintasi laut, dengan kedalaman laut 15 meter dan berarus deras, berada di Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar.
“Insya Allah jembatan penghubung dua pulau terluar Indonesia ;ini akan kita mulai pada 2021 mendatang,” ujar Plt. Kepala BPKS Sabang, Razuardi Ibrahim, kepada wartawan yang berkunjung ke Pulau Aceh itu. Para wartawan melakukan kunjungan jurnalistik ke Pulau Aceh selama dua hari, (21-22/9/2019).
Sementara itu Deputi komersil dan investasi BPKS, Agusalim mengatakan, target penyelesaian jembatan ini sekitar tiga tahun dengan anggaran Rp250 miliar.
“Angka tersebut sudah termasuk perencanaan, pembangunan dan pembebasan lahan, baik di Pulo Breuh, maupun di Pulo Nasi,” kata Agussalim kepada wartawan, pertengahan September 2019.
Dengan membangun jembatan ini, lanjut dia, perekonomian masyarakat setempat diyakini akan bangkit. Sentra ekonomi di Pulo Breuh lebih mudah dibawa ke Banda Aceh melalui pelabuhan Lamteng di Pulo Nasi.
Sejauh ini, kata Agussalim, belum ada kendala berarti terkait dengan dampak lingkungan terhadap pembebasan lahan untuk lokasi pembangunan jembatan itu. Namun seluruh proses dalam pembangunan tetap mengacu pada prosedur semestinya.
Selain mendongkrak perekonomian masyarakat di Pulo Aceh, jembatan penghubung Pulo Breuh – Pulo Nasi ini juga akan menghidupkan dermaga penyeberangan Lamteng menuju Pelabuhan Ule Lheue. “Bahkan tidak menutup kemungkinan jadwal penyeberangan antara Banda Aceh dan Pulo Aceh pun akan bertambah,” imbuh Agussalim.
Sebagai bagian dari strategi pengembangan Pulau Sumatera yang memiliki beberapa wilayah strategis nasional, Nova berharap adanya dukungan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI untuk membantu Pemerintah Aceh meningkatkan konektivitas antar-kawasan starategis tersebut. Ini demi mencapai strategi peningkatan investasi dan daya saing ekonomi yang berbasis kewilayahan di Aceh.
Untuk diketahui, Aceh memiliki beberapa wilayah strategis nasional, seperti Pusat Kegiatan Strategis Nasional Sabang, PKN Banda Aceh, Kawasan Strategis Nasional yakni Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dan wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun di Lhokseumawe.
Selain itu, Aceh juga melakukan pengembangan dan pembangunan kawasan strategis berdasarkan pendekatan kewilayahan yang merata dan terintegrasi, seperti Kawasan Industri (KIA) Ladong, Lampulo, Langsa dan di Abdya.
“Bukan hanya itu, Aceh juga memprioritaskan pembangunan kawasan pariwisata strategis (Sabang, Banda Aceh, Dataran Tinggi Gayo Alas, dan Singkil-Simeulue) serta pembangunan kawasan sentra industri kecil dan menengah,” ujar Nova dalam Konsultasi Regional Kementerian PUPR Tahun 2019 Wilayah Sumatera di Banda Aceh, Senin (11/3/2019).
Sementara itu, untuk meningkatkan konektivitas jaringan jalan dan menurunkan indeks ketimpangan wilayah, Aceh perlu membangun infrastruktur jalan jembatan. Seperti, penuntasan ruas jalan Pameu-Geumpang dan ruas jalan Jantho-Keumala, peningkatan jalan kondisi tanah ruas Pameu-Genting Gerbang (10,4 km), pembangunan terowongan Geureute, pembangunan dua jalur Krueng Cut – Ladong, perbaikan geometrik tanjakan semen Sabang serta lanjutan pembangunan Jembatan Santan (Pango).
Selain itu, lanjut Nova, guna memperlancar konektivitas barang, orang dan jasa antara Provinsi Aceh dengan Sumatera yang tergabung dalam tol Trans-Sumatera, diperlukan percepatan pembangunan tol Aceh ruas Sigli-Banda Aceh sepanjang 74 Km serta pembangunan jalan Banda Aceh Outer Ring Road (BORR).
Upaya membangun konektivitas adalah satu cara memuluskan tekad untuk pembangunan yang lebih merata. Nova menekankan, perbaikan daerah terpencil sebagai prioritas utama sasaran program Aceh Hebat, terutama di bidang insfrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi masyarakat.
“Karena itu, pembangunan sarana dan prasarana bukan berdasarkan kemauan, melainkan sesuai kebutuhan untuk kemaslahatan masyarakat,” pungkasnya.
Menyahuti paparan Nova, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono dalam kesempatan itu menyebutkan, pada tahun ini pemerintah akan tetap memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang dibarengi dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDA) secara besar-besaran.
Karenanya, prioritas pembangunan nasional sebagaimana rencana kerja pembangunan tahun 2020, bertemakan peningkatan SDM untuk pertumbuhan berkualitas. Ada beberapa arah pembangunan pada 2020 yang telah disusun pemerintah.
“Di antaranya, pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan serta konektivitas dan pemerataan. Selanjutnya adalah nilai tambah ekonomi dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, air, energi dan lingkungan hidup dan stabilitas pertahanan dan keamanan,” tandas Basuki. (Adv)