Selasa, Desember 10, 2024
spot_img
BerandaAcehKetua HMI Banda Aceh: Kenaikan UMP Tanpa Pertumbuhan Industri Bisa Jadi Bumerang...

Ketua HMI Banda Aceh: Kenaikan UMP Tanpa Pertumbuhan Industri Bisa Jadi Bumerang untuk Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh, Syifaul Huzni, mengkhawatirkan audiensi Aliansi Buruh Aceh dengan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal ZA yang mendesak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh 2025 menjadi Rp4 juta per bulan, dari sebelumnya Rp3,46 juta.

Syifaul menilai langkah tersebut berpotensi merugikan perekonomian Aceh dan menciptakan ketidakseimbangan dalam ekosistem investasi di daerah.

Menurut Syifaul, memahami hubungan antara UMP dan pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan penciptaan lapangan kerja.

“Aliansi Buruh Aceh terkesan gagal memahami bahwa kenaikan UMP yang agresif justru bisa menghambat potensi daerah ini untuk berkembang. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menjawab surplus angkatan kerja tanpa mengorbankan daya tarik bagi investor,” ujarnya, Kamis (14/11/2024).

Syifaul menambahkan, kenaikan UMP memang sering dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun, dengan kondisi perekonomian Aceh saat ini yang masih menghadapi angka pengangguran tinggi dan perkembangan industri yang belum optimal fokus pada peningkatan UMP dinilai bisa menjadi bumerang.

“Kenaikan UMP tanpa dukungan pertumbuhan industri yang memadai bisa memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Biaya produksi yang lebih tinggi akan mengurangi minat investasi, sehingga mempersempit peluang terciptanya lapangan kerja baru,” jelasnya.

Ia menyoroti bahwa contoh relokasi industri dari Jawa Barat dan Jabodetabek ke Jawa Tengah bukan semata-mata disebabkan oleh biaya upah yang lebih rendah, tetapi juga karena ketersediaan infrastruktur dan potensi pasar yang lebih besar.

“Yang perlu diperhatikan bukan hanya besaran UMP, tetapi juga bagaimana menumbuhkan industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja,” ungkapnya.

Syifaul juga menekankan, kenaikan UMP saja tidak cukup untuk meningkatkan daya beli masyarakat tanpa didukung pertumbuhan industri.

“Jika industri berkembang pesat, harga kebutuhan pokok otomatis lebih terjangkau. Namun, tanpa perkembangan industri, daya beli tetap akan sulit sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat,” katanya, menyoroti potensi kesenjangan sosial akibat hal ini.

Ia mengimbau aliansi serikat buruh untuk lebih mengutamakan strategi yang mendorong tumbuhnya industri dan lapangan kerja ketimbang fokus pada kenaikan UMP yang tidak mempertimbangkan daya saing daerah.

“Tanpa pengusaha dan investasi yang cukup, isu kenaikan UMP yang tidak kompetitif ini bisa memicu peningkatan angka pengangguran,” tegasnya.

Menurutnya, Aceh seharusnya bisa menjadi pusat produksi yang menarik, namun hal ini hanya bisa terwujud jika kebijakan yang diambil berorientasi pada pengembangan ekosistem industri yang kondusif.

“Diperlukan pendekatan rasional dan strategis dalam menetapkan UMP yang kompetitif, dengan mempertimbangkan faktor daya saing, pengembangan industri, dan peluang investasi,” kata Syifaul.

Syifaul menutup dengan mengingatkan bahwa peningkatan UMP tanpa memperhitungkan keberlanjutan industri justru dapat merugikan pekerja dalam jangka panjang.

“Solusi terbaik adalah menciptakan iklim yang ramah bagi pengusaha dan investasi, sehingga lebih banyak industri dan lapangan kerja bisa tercipta. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi yang inklusif bisa tercapai, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya saing dan stabilitas ekonomi Aceh,”jelasnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER