“Ditinjau ulang Qanun LKS ini supaya bank konvensional pun bisa tetap beroperasi di Aceh”.
Begitu mudahnya pernyataan itu disampaikan Saiful Bahri alias Pon Yaya. Seperti tanpa beban, Ketua DPR Aceh ini menyampaikan itu terkait wacananya merevisi Qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah) buntut erornya sistem BSI di Aceh, bank syariah plat merah nasional.
Sepertinya Pon Yaya ingin memanfaatkan insiden erornya BSI untuk meloloskan agenda besarnya, merevisi Qanun LKS. Revisi qanun ini sendiri dimaksudkan untuk memuluskan hadirnya kembali bank konvensional di Aceh.
Entah pesanan dari pihak mana, tentu gagasan anggota legislatif dari Partai Aceh ini menuai kecaman dari publik. Pon Yaya dinilai salah sasaran bila insiden serangan ransomware yang dialami BSI dikaitkan dengan revisi Qanun LKS.
Padahal insiden yang terjadi pada BSI pernah juga terjadi di bank lain, termasuk bank-bank konvensional. Bahkan dialami perusahaan di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Australia juga pernah dihebohkan karena mendapat serangan ransomware terbesar dalam sejarah negeri itu.
Sebuah perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat (AS) pada Mei lalu telah merilis laporan kebocoran data sepanjang 2021 akibat serangan ransomware.
Begitu juga salah satu penyedia layanan seluler terbesar di Australia (Optus) pernah mengalami serangan ransomware. Sekitar 10 juta data identitas pelanggan diretas. Masih di tahun yang sama, Medibank, salah satu penyedia jasa asuransi terkenal di Australia, juga mengalami serangan ransomware. Sekitar 10 juta data pelanggannya juga dicuri. Australian National University (ANU) yang sudah menjadi universitas kelas dunia juga tidak luput dari serangan ransomware pada tahun 2018.
Tahun 2022, hacker Bjorka juga menghebohkan Tanah Air. Bjorka telah menyerang sistem milik pemerintah Indonesia. Hacker ini mengungkap betapa mudahnya membobol data yang dikelola pemerintah Indonesia.
Artinya, insiden yang terjadi di BSI bisa juga terjadi pada bank konvensional dan perusahaan lain. Lantas mengapa Pon Yaya kemudian merespon insiden BSI dengan isu revisi Qanun No.11, tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Padahal bila ditelisik ke belakang, Qanun LKS ini lahir atas keputusan DPRA yang kala itu, Ketua DPRA nya juga dari Partai Aceh.
Melihat kenyataan itu sepertinya Saiful Bahri alias Pon Yaya tak saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bagai pihak yang memulai tapi juga yang ingin mengakhirinya. (*)