Sabtu, Mei 10, 2025
spot_img
BerandaLaporan KhususKetika Sekolah Jadi "Pintu" Perdagangan Orang di Kapal Asing

Ketika Sekolah Jadi “Pintu” Perdagangan Orang di Kapal Asing

Alih-alih menimba pengalaman di kapal internasional, Azin terperangkap di kapal ikan berbendera Tiongkok dua tahun tanpa perlindungan, tanpa komunikasi, dan tanpa kepastian upah.

——–

Suara mesin kapal terdengar dari lambung  Kapal Motor Penumpang (KMP) Aceh Hebat 1 yang bersandar di Pelabuhan Calang, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Senin (10/3/2025).

Di geladak kapal, seorang pemuda tampak sibuk. Mengenakan kemeja putih rapi dengan lencana nama di dada kiri, ia memeriksa simpul tali, menyisir ruang kemudi, dan memastikan semuanya siap untuk pelayaran esok.

Dialah Azin Al-Basyir (24), awak kapal yang sudah dua tahun bekerja di kapal penumpang milik PT ASDP, melayani rute Calang–Sinabang itu. Di kapal berbobot 1300 Gross Tonnage (GT) ini, ia bertugas mengawasi dek, menarik tali tambat, serta mengontrol anjungan kapal yaitu ruang komando utama yang mengatur navigasi, pengawasan, dan komunikasi.

“Saya sudah terbiasa kerja di laut, tapi dulu bukan begini. Dulu saya kerja di kapal cumi milik China,” kata Azin saat ditemui Waspadaaceh.com di atas kapal penumpang itu.

Bekerja di kapal perikanan asing meninggalkan trauma mendalam bagi Azin. Cita-cita menjadi pelaut ulung, berakhir buntung. Bahkan nyawanya nyaris melayang di atas kapal asing itu.

Peristiwa kelam tersebut sudah berlalu enam tahun silam, tetapi Azin belum bisa melupakan peristiwa itu. Azin tidak pernah menyangka, sekolah yang seharusnya menjadi gerbang menuju masa depan yang cerah justru menyeretnya ke dalam jeratan eksploitasi tenaga kerja.

Tumbuh dan besar di pesisir Kota Lhokseumawe sebagai anak nelayan membuatnya tertarik dengan dunia bahari. Laut menjadi panggilan hidupnya sehingga tawaran bekerja di kapal nelayan asing pun diterimanya. Ia berangkat dengan tekad membantu ekonomi keluarga dan menggapai mimpi sebagai pelaut.

Demi mewujudkan mimpi tersebut, setelah lulus dari sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Ladong, Aceh Besar jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan (NKPI), Azin rela meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di kapal perikanan asing.

Namun alih-alih menimba pengalaman di kapal internasional, Azin terperangkap di kapal ikan berbendera Tiongkok dua tahun tanpa perlindungan, tanpa komunikasi, dan tanpa kepastian upah.

Terjebak” di Kapal Asing

Azin masih ingat betul, Juni 2018, ia diwisuda bersama angkatan ke-32 SUPM Negeri Ladong, Aceh Besar. Seragam biru dongker layaknya jas taruna, lengkap dengan topi pet. Dalam barisan wisudawan, ia berdiri tegak, mengenakan atribut kebanggaan sebagai lulusan sekolah pelaut.

Saat itu juga beberapa perusahaan swasta datang menawarkan pekerjaan  di kapal internasional, salah satunya PT SAI, perusahaan penyalur dan perekrutan awak kapal.

Perusahaan ini telah menjalin Memorandum of Understanding (MoU) dengan SUPM sehingga hadir langsung ke sekolah untuk menawarkan peluang kerja kepala lulusan. Perusahaan menawarkan gaji sebesar 450 dolar AS per bulan (sekitar Rp6 juta hingga Rp6,5 juta) bagi lulusan yang bersedia bekerja di kapal asing.

Bagi siswa-siswa dari keluarga nelayan seperti Azin, angka itu sangat fantastis dan menggiurkan sehingga tidak berpikir dua kali untuk menerima tawaran tersebut.

“Saya tertarik karena ingin membantu perekonomian keluarga,” ucap Azin.

Satu bulan setelah sosialisasi, ia mulai mencari tahu cara untuk mendaftar dan mengajak teman seangkatan yang juga tertarik dengan tawaran pekerjaan tersebut. Mereka berkomunikasi dengan gurunya berinisial JS, sosok yang disebut sebagai penghubung utama antara lulusan sekolah dan pihak perusahaan.

Melalui WhatsApp, JS memberitahunya bahwa ia harus mengurus beberapa dokumen penting yang dibutuhkan untuk keberangkatan, yaitu medical check up, paspor, buku pelaut, dan sertifikat Basic Safety Training (BST).

Tak menunggu lama, Azin dan temannya segera melengkapi dokumen keberangkatan yang disarankan JS. Seluruh proses ini ia biayai sendiri, dengan total pengeluaran yang berkisar sekitar Rp1,4 juta.

Setelah seluruh dokumen lengkap, JS meminta Azin memindai dan mengirimkannya via WhatsApp. Seminggu kemudian, Azin bersama dua rekannya (Khairol Aman dan Aulia Zikrul) berangkat ke kantor pusat PT SAI di Bekasi, Jawa Barat. “Setibanya di sana, kami melapor bahwa kami dari Aceh dan diberangkatkan melalui Pak JS,” ungkap Azin.

Komplek SUPM Ladong, Aceh Besar. (Foto/Cut Nauval D)

Bagi Azin, ini pertama kalinya naik pesawat dan merantau ke luar negeri. Ada sedikit rasa was-was, tapi di sisi lain, ia juga tak sabar untuk mengejar impian menjadi pelaut yang sudah lama ia idamkan.

Setelah menyerahkan seluruh dokumen penting, mereka diinapkan di mess milik perusahaan selama dua pekan. Kontrak kerja baru mereka terima sehari sebelum keberangkatan ke Korea Selatan. Gaji yang dijanjikan sejak awal sebesar US$450 per bulan setara sekitar Rp6,3 juta tiba-tiba berubah menjadi US$300 atau sekitar Rp4,2 juta.

Selain adanya pemotongan gaji, skema pembayarannya juga berubah, baru akan diberikan setiap tiga bulan sekali, dengan rincian US$250 sebagai upah pokok, ditambah US$50 sebagai tunjangan on boat. Namun sebagian dari jumlah itu dipotong sebagai uang jaminan, yang akan hangus jika mereka memutus kontrak sebelum waktunya.

Azin dan rekannya merasa dijebak pihak perusahaan, perjanjian berubah secara sepihak dan mereka merasa dipermainkan. Upaya mereka untuk mundur gagal karena perusahaan mengancam akan menuntut penggantian biaya tiket pesawat yang telah dipesan. Tidak punya uang untuk menggantikan semua biaya, mereka pun terperangkap.

15 Oktober 2018, awal petaka bagi Azin dan tujuh calon anak buah kapal (ABK) asal Indonesia. Saat meninggalkan Jakarta menuju Korea Selatan, setibanya di negara tersebut, mereka dijemput oleh perwakilan GTIC, sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja laut yang berbasis di Taiwan.

Perusahaan ini dikenal sebagai penyalur kru untuk kapal-kapal perikanan laut dalam berbendera China. Tanpa banyak penjelasan, Azin dan kawan-kawannya dibawa ke kapal Lu Lan Yuan Yu 088, kapal cumi berbendera China.

Sejak hari pertama pelayaran, Azin menyadari situasinya jauh dari harapan. Alih-alih mendapat pengalaman kerja profesional di kapal asing, ia justru dihadapkan pada aturan kerja yang keras dan menekan.

“Ekspektasinya bisa kerja di luar negeri dan bisa bantu perekonomian keluarga, tapi malah langsung disambut kekerasan,” katanya.

Setiap hari, Azin harus bekerja antara 11 hingga 13 jam. Bertahan di tengah gelombang laut dengan suhu dingin dan tak punya cukup waktu istirahat.

Di atas kapal berbobot 1.322 GT itu,  komunikasi sangat terbatas bahasa isyarat menjadi satu-satunya cara berkoordinasi, dilarang menggunakan alat komunikasi pribadi. Hubungan dengan keluarga pun terputus total selama dua tahun.

Selain tidak menerima gaji sesuai perjanjian, kontrak kerja Azin dan tujuh rekannya yang seharusnya berakhir pada 12 Oktober 2020, saat kapal memasuki perairan Peru, justru dilanggar perusahaan pemilik kapal. Tanpa persetujuan, mereka dipindahkan ke kapal lain dan diminta terus bekerja.

Terombang-ambing

Kabar pahit datang menjelang akhir masa kontrak. Agen dari perusahaan China mengabarkan bahwa PT SAI, perusahaan perekrut mereka tersandung hukum, polisi menetapkan direkturnya sebagai tersangka. Kontrak pun dianggap tak lagi berlaku, sementara gaji yang tertunggak tak kunjung dibayar.

Penderitaan mereka terus berlanjut ketika dipindahkan ke kapal Fu Xin, kapal pemburu cumi berbendera China. Mereka dijanjikan akan dipulangkan melalui Singapura setelah kontrak selesai.

Alasan demi alasan terus dilontarkan pihak kapal, karena saat itu kondisi pandemi COVID 19, kota-kota menerapkan lockdown atau menutup wilayahnya. Penerbangan tidak tersedia dan kapal penjemput pun tidak tersedia sehingga membuat mereka terus terjebak di samudera.

Meski kontrak telah habis, mereka tetap harus bekerja. Tidak terima dengan perlakuan tersebut, Azin dan rekannya melayangkan protes kepada kapten kapal.

Alih-alih menyetujui permintaan mereka untuk pulang, Kapten justru memaksa mereka kembali bekerja selama enam bulan tambahan, dengan iming-iming gaji US$400 atau sekitar Rp5,8 juta yang akan dibayarkan langsung di atas kapal.

“Gaji sebelumnya saja, yang dijanjikan tak kunjung dibayar, makanya kami menolak lanjutkan kerja,” kata Azin.

Penolakan itu dibalas dengan ancaman. Makanan mereka dihentikan selama hampir seminggu. Mereka terpaksa memasak di atas cerobong kapal dan makan bersama hanya dengan satu teko.

Azin dan teman-temannya membayangkan akan selamanya terjebak di laut, menjadi budak di kapal asing itu. Lebih buruk lagi dia membayangkan akan mati kelaparan atau sakit dan tubuhnya dilarung ke samudera.

Saat malam tiba, dia menatap bintang di angkasa, pikirannya terbang jauh ke kampung halaman membayangkan ibunya yang telah renta menanti dia kembali. Selama dua tahun dia kehilangan kontak dengan keluarga.

Penantian Keluarga di Aceh

Di Lhokseumawe, keluarga mengira Azin telah tiada. Mereka membaca tahlil dan Surah Yasin berdoa agar anaknya selamat dan mengikhlaskan jika Azin benar-benar telah meninggal dunia.

“Saya kira bisa jadi harapan keluarga, tapi justru membawa duka, sampai-sampai mereka membaca Surah Yasin (Al-Quran) untuk saya,” katanya lirih.

Hingga 24 September 2020 belum ada komunikasi dengan pihak keluarga di kampung halaman, orangtua dari Khairol Aman teman Azin asal Aceh pun  mulai resah.

Secara administratif, ketiganya tidak tercatat sebagai pekerja migran legal. Mereka diberangkatkan melalui jalur ilegal oleh agen rekrutmen yang tak terdaftar dalam sistem negara.

Berdasarkan penelusuran Waspadaaceh.com, keberadaan PT SAI, yang beralamat di Perum Bumi Satria Kencana, Jalan Sadewa 6 Blok 47, Kota Bekasi, Jawa Barat, bergerak di bidang perekrutan Anak Buah Kapal (ABK). Perusahaan ini didirikan pada 28 Maret 2012 oleh direktur utama berinisial R.

Sejak berdiri, PT SAI telah lima kali mengubah akta, dengan akta terakhir disahkan pada 9 Juli 2018 (nomor AHU-0013770.AH.01.02.Tahun 2018). Meski mengaku menjalankan usaha di bidang perdagangan dan jasa, termasuk perekrutan ABK, perusahaan ini ternyata tidak memiliki dokumen resmi yang diperlukan. Seperti Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) atau Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).

Berdasarkan penelusuran bahwa PT SAI bukan pemain kecil. Perusahaan ini tercatat menjalin kemitraan dengan raksasa perikanan global, CF Group Co.Ltd, sebuah entitas industri yang berbasis di Hong Kong dan bergerak di bidang penangkapan, pengolahan, serta distribusi produk laut dalam skala internasional.

Jaringan perusahaan ini juga melibatkan China National Fisheries Corporation (CNFC) badan usaha milik negara Tiongkok yang mengoperasikan berbagai kapal penangkap ikan di perairan lepas.

Penjelasan SUPM Ladong

Waspadaaceh.com mencoba menelusuri peran sekolah dalam skema rekrutmen ini. Kepala SUPM Ladong, Harun, saat ditemui Senin, (7/3/2025), menyampaikan bahwa pihaknya memang kerap menerima informasi lowongan dari berbagai sumber, termasuk bursa kerja milik kementerian.

Informasi tersebut kemudian disebarkan ke para siswa. Menurut Harun, ini adalah hal yang lumrah  sebagai sekolah vokasi dan bukan bentuk tanggung jawab langsung.

Harun juga menegaskan tanggung jawab sekolah hanya berlaku selama siswa menempuh pendidikan. “Setelah lulus dan jika bukan program penempatan resmi dari sekolah, itu bukan tanggung jawab kami,” ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa sekolah memiliki grup alumni yang aktif membagikan informasi terkait perkembangan lulusan. “Kami juga memiliki komunitas alumni yang terus memantau di mana mereka bekerja melalui grup komunikasi,” ujarnya.

Dalam kasus Azin dan kawan-kawan, kata Harun, itu bukan tanggung jawab sekolah karena mereka sudah menjadi alumni.

Harun mengakui bahwa PT SAI adalah salah satu dari 14 mitra sekolah. “Iya (PT SAI) termasuk mitra kami, tapi izinnya sudah mati sejak 2018,” kata Harun.

Namun, menurut data AHU dengan nomor AHU-0013770.AH.01.02.Tahun 2018, perusahaan tersebut aktif kembali pada 9 Juli 2018. Sebulan setelah sosialisasi di sekolah dilakukan pada Juni 2018, meskipun izinnya baru diperpanjang setelah itu.

Ketika ditanya mengenai dugaan keterlibatan guru berinisial JS dalam menjembatani siswa dengan perusahaan, ia hanya menjawab “Masa lalu tidak perlu diungkit kembali,” ujarnya singkat.

Pihak sekolah juga menyatakan bahwa JS  kini tidak mengajar di lingkungan SUPM Ladong karena sedang melanjutkan studi S3 di bidang perikanan di luar Aceh.

Jurnalis Waspadaaceh.com berupaya meminta tanggapan dari JS, guru yang disebut korban sebagai pihak yang mengarahkan mereka ke PT SAI. Konfirmasi dilakukan melalui WhatsApp, namun JS menolak wawancara. “Mohon maaf, menurut saya tidak perlu lagi untuk klarifikasi,” jawabnya singkat.

Sekolah Semestinya Miliki SOP

Penjelasan pihak sekolah dinilai kontradiktif oleh Sumatera Environmental Initiative (SEI), sebuah lembaga yang fokus pada perlindungan ABK dan pendampingan hukum.

Direktur SEI, Masykur Agustiar menilai pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar, bahwa benar sekolah menjadi pintu masuk rekrutmen pekerja migran. “Apakah mereka tak punya tanggung jawab moral atas keselamatan alumni mereka?”lanjutnya.

Ketiadaan sistem perlindungan paska-lulus menjadi celah yang kerap dimanfaatkan oleh agen perekrut. Dalam banyak kasus, pihak sekolah abai memverifikasi legalitas penyaluran kerja yang disampaikan ke siswanya.

“Seharusnya sekolah punya SOP untuk memastikan informasi kerja yang diterima siswa aman dan legal, kalau bukan dari sekolah, dari mana lagi anak-anak tahu perusahaan itu? Dan kenapa mereka percaya? Karena informasinya datang dari dalam (sekolah),  dari guru,” ujarnya.

Ia menjelaskan,  kasus yang dialami Azin dan rekan-rekannya merupakan bentuk perbudakan modern di industri perikanan internasional. Para korban direkrut melalui skema palsu, mengalami kekerasan, kerja paksa, hingga tidak menerima upah.

Maskur menambahkan, praktik eksploitasi ini bersifat sistemik. Banyak pemuda Indonesia direkrut melalui jalur pendidikan maupun informasi kerja yang tidak resmi.

Dalam kasus Azin, SEI menilai terdapat unsur TPPO dengan modus penipuan, pemaksaan, kekerasan, dan jeratan utang.

“Lewat jalur legal saja bisa tertipu, apalagi yang ilegal, termasuk jalur sekolah,” tegasnya.

Dia menegaskan, kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan alasan “bukan tanggung jawab sekolah”. Menurutnya, pihak sekolah perlu diselidiki lebih lanjut, bukan sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai simpul yang membuka jalan bagi jaringan perekrutan.

Atas dasar itu, Sumatera Environmental Initiative (SEI) turut melakukan pendampingan terhadap kasus TPPO yang dialami tidak hanya oleh Azin, tetapi juga belasan korban lainnya. SEI secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melibatkan anak buah kapal (ABK) ke Polda Aceh pada November 2023.

Kapal LU LAN YUAN YU 088. (Foto/ist)

Kasus Dihentikan (SP3)

Polda Aceh mengakui telah menerima laporan dugaan perdagangan orang yang dialami Azin dan rekan-rekannya, pihaknya juga mengaku  telah melakukan gelar perkara.

Kompol Isra dari Subdirektorat IV Ditreskrimum menyebut, kasus ini sebelumnya sudah ditangani Polda Metro Jaya, lalu kembali dilaporkan ke Polda Aceh sebagai laporan informasi.

Namun, setelah penyelidikan, Polda Aceh menerima informasi bahwa Direktur PT SAI, R, yang diduga sebagai pelaku utama, telah meninggal dunia pada 2023. Kantor perusahaan itu juga telah disegel.

“Surat SP3 sudah dikeluarkan karena pelaku utama meninggal. Kami juga menerima surat keterangan kematiannya,” kata Isra kepada Waspadaaceh.com, Rabu (30/4/2025).

Menanggapi dugaan keterlibatan oknum guru dalam proses rekrutmen, Isra menyebut Polda Aceh telah memanggil dan memeriksa guru yang bersangkutan.
Lanjutnya, guru tersebut mengaku hanya membantu agar korban mendapatkan pekerjaan, karena perusahaan itu sebelumnya telah melakukan sosialisasi ke SUPM Ladong dengan menawarkan pekerjaan.

“Namun, hasil pemeriksaan tidak menunjukkan adanya bukti yang cukup untuk menetapkan keterlibatan dalam kasus ini,” ujarnya.

Sementara itu, beberapa laporan lainnya dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah dan Polres Metro Bekasi Kota, Polda Metro Jaya, sesuai dengan locus delicti atau tempat kejadian perkara.

Tim kuasa hukum korban yang dipimpin Andi Suhanda menyatakan keberatan atas penghentian kasus tersebut. Ia juga mempertanyakan keabsahan proses gelar perkara yang diklaim telah dilakukan.

“Polisi menyebut telah melakukan gelar perkara, tetapi yang dimaksud hanya pernyataan dalam pertemuan di ruang Dirreskrimum Polda Aceh dan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRA. Itu tidak memenuhi syarat sebagai gelar perkara secara resmi,” ujar Andi.

Bagi Azin, sekolah itu seperti lepas tangan. Ia merasa dijebak oleh sistem yang membungkus eksploitasi dalam kemasan peluang kerja. Setelah pulang dari laut dalam kondisi hampa dan kehilangan hak upah, tak ada satu pun guru yang menanyakan kabarnya.

“Setelah lulus, kami dianggap bukan siapa-siapa. Padahal kami dibawa ke sana lewat tangan mereka,” ujar Azin.

Banyak Korban TPPO di Indonesia

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2Mi) sebagai lembaga resmi negara yang ditugaskan mengurusi pekerja migran, kerap kecolongan. Tidak sedikit warga Indonesia yang menjadi korban TPPO, tetapi BP2MI baru mengetahui setelah para pekerja menuai masalah.

Begitu juga dalam kasus Azin dkk. UPT Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah Aceh juga baru mengetahui saat keluarga melapor setelah dua tahun tak mendapat kabar dari mereka.

Grafik alur keberangkatan Azin dkk sebagai pekerja kapal asing. (Infografis/Cut Nauval D)

Meski keberangkatan mereka tidak tercatat dalam sistem pemerintah, sebagai tanggungjawab negara dalam melindungi warganya sehingga BP3MI tetap menindaklanjuti kasus tersebut.  Laporan itu menjadi titik awal pencarian keberadaan Azin, Khairol, dan Aulia Zikrul.

Kepala UPT Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah Aceh Siti Rolijah mengatakan, berdasarkan laporan tersebut BP3MI kemudian berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan RI di Peru, serta melakukan negosiasi intensif dengan pemilik kapal. Setelah beberapa pekan, Azin bersama tujuh ABK lainnya dari berbagai daerah di Indonesia, berhasil dipulangkan pada November 2020.

Setelah pemulangan, BP3MI berupaya memfasilitasi jalur hukum dan mediasi agar gaji Azin dan rekannya dibayar penuh, namun pihak perusahaan agen hanya membayar sebagian saja dari total gaji mereka. Sebelumnya pihak perusahaan kapal berbendera China tersebut sudah membayar gaji para ABK ke rekening Direktur PT SAI, R, selaku perusahaan perekrut di Indonesia.

“Jadi seperti ada kontrak di dalam kontrak. Ini yang menjadi persoalan besar. Model ini menyulitkan penelusuran dan pertanggungjawaban langsung dari pemilik kapal,” ujar Siti.

Siti menduga ada pola sistemik yang dijalankan manning agency untuk menghindari pemantauan negara, dengan mengarahkan calon ABK agar tidak melapor ke pemerintah.

“Kalau mereka lapor, bisa-bisa jaringan di belakangnya terpantau aparat. Jadi, mereka memang diarahkan untuk diam,” jelasnya.

Ia juga menyoroti regulasi sebagai hambatan besar dalam penanganan TPPO di sektor kelautan. Dualisme aturan menjadi kendala utama, terutama saat transisi dari UU No. 39/2004 tentang TKI ke UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“HUBLA mengatur perekrutan lewat SIUPPAK, sementara Kemenaker mengeluarkan SIP3MI. Ketidaksesuaian ini dimanfaatkan mafia tenaga kerja untuk merekrut secara ilegal,” ujarnya.

Menurut Siti, pemerintah kini mulai menertibkan manning agency dan menegaskan bahwa penempatan ABK harus melalui sistem resmi BP2MI. Sistem satu pintu dinilai sebagai solusi agar pekerja migran, termasuk ABK, terlindungi secara hukum dan administratif.

“Kasus seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa pekerja migran tidak boleh diberangkatkan tanpa perlindungan negara,” tegas Kepala BP3MI Aceh.

BP2MI mencatat terhitung sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Mei 2021, BP2MI menerima 415 pengaduan kasus anak buah kapal (ABK), yang mayoritas terkait praktik eksploitasi. Selain itu, BP2MI juga menangani 432 pengaduan pekerja migran Indonesia (PMI) sektor laut (sea-based) dan memfasilitasi kepulangan 22.577 ABK hingga akhir 2020.

Azin dan kawan-kawan akhirnya berhasil dipulangkan. Azin mengaku selama dua tahun bekerja, ia hanya menerima Rp30 juta yang ditransfer ke rekening dan uang tunai sebesar USD 900 (sekitar Rp13,5 juta) saat di Peru.

Padahal, menurut Perjanjian Kerja Laut (PKL), ia seharusnya menerima USD 300 per bulan. Jika dihitung selama 24 bulan, total gaji yang semestinya diterima mencapai sekitar Rp104,6 juta.

Di atas KMP Aceh Hebat 1, pagi itu Azin Al-Basyir masih sibuk memastikan dek kapal dalam kondisi siap. Namun di balik kesibukannya, ada ingatan yang tak pernah hilang. Sesekali, ia mengaku, mimpi dan bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya.

“Sesekali saya bermimpi kembali ke kapal itu, dan kemudian menangis saat tersadar, tapi saya tetap memilih bekerja di kapal, sesuai dengan latar belakang yang saya punya,” ucapnya.

Bagi pihak sekolah, kasus ini dianggap persoalan biasa, masa lalu yang tak perlu diungkit. Namun, bagi Azin, luka itu terus membekas di hati. (*)

  • Laporan ini didukung oleh program beasiswa liputan dari Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER