“Saya tidak tahu, mengapa mereka yang berkuasa di masjid-masjid bersaldo besar tapi miskin aksi ini begitu bangga kepada angka saldo. Bukan pada aksi-aksi yang benar, menyalurkan dana infaq itu dengan cerdas kepada mereka yang membutuhkan”
———-
Catatan Cahyo Pramono
Lebih dari 5.000 Km saya jalani dalam liburan panjang lebaran Idul Fitri ini. Dari Kota Medan melalui jalur timur Sumatera, sepanjang Pantura Jawa, sampai ke Jogjakata dan kemudian kembali lagi ke Medan melalui jalur Barat Sumatera.
Perjalanan ini membuat saya harus mampir ke masjid-masjid sepanjang jalan, tak hanya pada saat masuk waktu shalat fardhu, tetapi juga kadang saat ingin istirahat dan ke kamar mandi.
Saya kagum dan bersyukur menemukan sangat banyak masjid yang bagus, besar, indah, bersih dan banyaknya jamaah yang datang. Tentu tidak menutup fakta bahwa ada juga masjid-masjid yang tidak terurus, kotor dan suram.
Saldo
Terlepas dari kekaguman itu, saya merasakan kesedihan yang mendalam ketika sesekali saya membaca laporan keuangan di beberapa masjid.
Ada banyak masjid yang saldonya ratusan juta rupiah, tetapi pengeluarannya sedikit sekali. Hanya untuk air dan listrik (yang harganya sangat murah karena subsidi), dan biaya-biaya lainnya yang amat sangat sedikit. Sehingga sebegitu sedikitnya, honor penjaga masjid pun jauh di bawah UMR. Mereka berharap masjid terurus dengan bersih dengan modal yang amat sangat kecil.
Uang transport untuk imam dan khatib juga sangat sedikit. Bukan untuk membeli ilmu para Dai, tapi para Dai juga perlu berkecukupan dalam hidupnya. Sementara saldo kas sangat melimpah dan berlebih. Sungguh meyedihkan.
Saya tidak menemukan laporan penggunaan dana infaq dari jamaah untuk keperluan yatim piatu, fakir miskin, bencana alam, atau untuk mendukung modal usaha bagi masyarakat sekitarnya.
Saya juga tidak menemukan laporan penggunaan dana untuk kegiatan pengajian rutin, baik offline maupun online.
Saya juga tidak menemukan laporan penggunaan dana untuk mendukung masjid-masjid lain yang tidak seberuntung mereka. Saya tidak menemukan laporan penggunaan dana untuk menjamu tamu-tamu Allah yang sedang safar (dalam perjalanan).
Saya tidak tahu, apakah itu terjadi karena penghematan atau sikap kikir yang amat sangat.
Bangga
Kesedihan ini bertambah ketika pertanyaan saya tentang saldo ini direspon dengan kebanggaan dari orang-orang (pengurus) di masjid tersebut.
Saya tidak tahu, mengapa mereka yang berkuasa di masjid-masjid bersaldo besar tapi miskin aksi ini begitu bangga kepada angka saldo. Bukan pada aksi-aksi yang benar, menyalurkan dana infaq itu dengan cerdas kepada mereka yang membutuhkan.
Saya tidak tahu, apakah mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi Qorun (orang kaya kikir dan sombong) yang menumpuk dan memendam harta yang seharusnya segera disalurkan.
Siapa pun yang berinfaq, pasti berharap agar segera infaqnya bekerja memproduksi pahala-pahala baginya. Segera, bukan nanti-nanti.
Saya tidak tahu, bagaimana mereka merasa bangga untuk sesuatu yang tidak bijaksana.
Khawatir
Salah satu jawaban jujur mereka adalah bahwa mereka khawatir jika dana dipakai semua, maka mereka akan kesulitan jika akan melakukan renovasi, pergantian karpet, dll.
Saya hormati kejujuran ini, tetapi saya justru merasakan kesedihan yang jauh lebih dalam. Saya tidak tahu, mengapa mereka khawatir mengurus Rumah Allah?
Bagaimana mereka bisa lupa bahwa mereka bukan Allah. Mereka cuma mahluk, mereka cuma orang-orang yang dikasih kesempatan beribadah dan mengabdikan dirinya menjadi pengurus jamaah di Baitullah itu.
Bagaiamana mereka bisa lupa bahwa yang menjamin kemakmuran masjid, yang memberi dana karpet dan renovasi adalah karena Allah SWT? Bukan mereka.
Bagaimana mereka bisa lupa bahwa Allah lah yang berkuasa, bukan mereka dan saldo mereka. Bagaimana mereka bisa lupa meng-illahkan diri mereka dan saldo mereka?
Impian
Saya berharap, suatu saat masjid akan menjadi pusat maliah umat.
Saya berharap, tidak ada anak yatim, fakir miskin, pengusaha kecil di sekitar masjid yang merana sementara dana kas masjid bertumpuk ratusan juta rupiah.
Saya berharap, penjaga masjid, pekerja kebersihan, imam, khatib dan siapapun bekerja untuk masjid itu dibayar dengan angka yang besar dan memudahkan hidupnya.
Saya berharap, setiap terjadi bencana alam, pengelola masjid akan segera hadir memberikan bantuan dalam jumlah yang benar-benar bermanfaat, bukan ala kadarnya.
Saya berharap agar pengurus masjid tidak menumpuk saldo, dan tidak khawatir menyalurkan dana infaq lebih segera dan lebih banyak.
Saya berharap agar para pengurus masjid di manapun mendapatkan berkah kebaikan dan pahala dari Allah SWT.
Kita harus ingat, bahwa: Masjid itu rumah Allah, dan kita tidak usah khawatir. Infaq itu diharapkan menjadi mesin pahala bagi pemberi nya, jadi segeralah salurkan. Allah lah yang menentukan segalanya, bukan diri kita. Semoga tulisan ini bermanfaat (**)
Penulis adalah relawan Komunitas Pencinta Masjid Bersih.