Jakarta –Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Yudian Wahyudi, mengatakan, Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diterima oleh mayoritas masyarakat, seperti tercermin dari dukungan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah sejak era 1980-an.
Tapi memasuki era reformasi, asas-asas organisasi termasuk partai politik boleh memilih selain Pancasila, seperti Islam. Hal ini sebagai ekspresi pembalasan terhadap Orde Baru yang dianggap semena-mena.
“Dari situlah sebenarnya Pancasila sudah dibunuh secara administratif,” kata Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi, yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini, sebagaimana dikutip dari detik.com, Rabu (12/2/2020).
Belakangan juga ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden. Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya mereka pun kecewa.
“Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” papar Yudian.
Sebagai kelompok mayoritas yang sebenarnya, kata Prof Yudian Wahyudi, NU dan Muhammadiyah mendukung Pancasila. Kedua ormas ini tak pernah memaksakan kehendak.
Konsep Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk seperti Indonesia, Yudian melanjutkan, merupakan anugerah terbesar dari Tuhan. Dari sisi sumber dan tujuan, Pancasila itu relijius karena kelima sila yang terkandung di dalamnya dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci ke enam agama yang diakui secara konstitusional di republik ini.
“Tapi untuk mewujudkannya kita butuh sekularitas bukan sekularisme. Artinya soal bagaimana aturan mainnya kita sendiri yang harus menentukannya,” kata Yudian.
Dia pribadi mengaku menerima amanah sebagai Kepala BPIP menggantikan Yudi Latief yang mengundurkan diri pada Juni 2018, sebagai bentuk jihad dalam upaya mempertahankan NKRI. (detik.com)