Minggu, Desember 22, 2024
spot_img
BerandaKemlu RI: Ada Sekitar 166 TKI Menunggu Eksekusi

Kemlu RI: Ada Sekitar 166 TKI Menunggu Eksekusi

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Total dalam satu tahun, Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu RI bisa menerima hingga 19 ribu kasus terkait pekerja migran.

Dari penanganannya, 22 orang selamat dari hukuman mati, sementara masih ada 166 warga yang akan dieksekusi, kata Akhmad Masbukhin, dari Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu RI.

Akhmad Masbukhin menyampaikan hal itu dalam seminar bertema ‘Migrasi TKI Keluar Negeri: Peluang dan Tantangan’ yang diselenggarakan Universitas Almuslim, di Banda Aceh, Kamis (7/2/2019).

“Kita terus berjuang semaksimal mungkin menyelamatkan mereka,” tandas Akhmad.
Untuk perkara pidana yang menjerat TKI saat berada di negara lain, ia mengaku selama ini Kemlu RI sulit mengintervensi.

Negara bisa menjalankan fungsinya setelah serangkaian prosedur dilalui. Kasus kekerasan terhadap buruh migran, misalnya. Akhmad menyebut bahwa pemerintah tak serta merta turut campur untuk memulangkan warga negaranya itu.

“Kita paham adanya desakan dari masyarakat kepada pemerintah saat terjadi kasus pada pekerja migran kita. Padahal perlu kita tahu, semua prinsipnya jelas, negara tidak bisa mengambil alih perkara pidana WNI di luar negeri begitu saja,” katanya.

Menurutnya, ada pihak yang bertanggung jawab, seperti: lembaga yang mengirim mereka, majikan yang menggunakan jasanya, ini harus dipastikan dulu,” kata dia.

Upaya pengawasan untuk melindungi pekerja migran merupakan tanggung jawab negara yang musti dijalankan secara bersama-sama. Akhmad mengiyakan pentingnya koordinasi antar instansi. Termasuk juga yang paling penting, memfasilitasi calon pekerja dengan pelatihan dan sosialisasi.

Perlindungan TKI Harus Dimulai dari Sistem

Peliknya persoalan yang dialami pekerja migran Indonesia menuntut upaya lebih seirus dari pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap mereka.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI terus mengupayakan perlindungan pekerja Indonesia yang berada di luar negeri, mulai dengan pembenahan sistem maupun manajemen dalam institusi pemerintah yang berwenang.

Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu RI, Akhmad Masbukhin, memaparkan sejumlah tantangan mengenai keadaan pekerja migran Indonesia. Di antaranya, dari 2,9 juta WNI yang berada di luar negeri, hampir 80 persen menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor domestik.

“Banyak yang jadi pekerja rumah tangga, supir pribadi, dan sebagainya. Mereka tidak memiliki skill kejuruan, sehingga hanya bekerja sebagai buruh kasar di sana,” ujar Akhmad.

Dia tak menampik tingginya minat dari warga Indonesia keluar negeri dengan berbagai tujuan. Seperti umroh, wisata, belajar, dan sebagainya. Namun, kenyataannya, banyak mereka yang telah keluar negeri enggan pulang. Mereka mencari kerja, padahal belum punya skill yang memadai untuk dipekerjakan di sana.

“Sangat disayangkan warga kita yang tak punya skill, hanya modal niat saja. Ini sangat berisiko bagi mereka sendiri,” ucapnya.

Adapun fokus dari kementerian saat ini adalah perlindungan yang tidak hanya sebatas upaya memberangkatkan atau memulangkan TKI, tapi juga mencerdaskan mereka. Sebab, sebagian besar masalah dialami pekerja migran karena rendahnya pengetahuan terhadap aturan dan norma di negara tempat mereka bekerja.

Dari pengalamannya saat bekerja di Konsulat RI di Arab Saudi, Akhmad mendapati sekitar 400 WNI mendekam dalam penjara yang tersebar di beberapa provinsi di negara tersebut. Kebanyakan karena tindakan asusila, seperti berdua-duaan dengan non-muhrim di tempat publik.

“Tak banyak warga kita yang tahu bahwa syariat Islam di sana sangat totalitas. Untuk masalah berdua-duaan saja bisa kena hukuman penjara dan dicambuk,” ujarnya.

Selain itu, Akhmad mendapati banyak sekali WNI di Arab Saudi yang ditangkap karena pelanggaran ijin tinggal (overstay). Masalah keimigrasian serupa juga menimpa TKI di Malaysia, yang sebagian besar masuk ke negara tetangga itu melalui beberapa ‘jalur tikus’ di perbatasan Indonesia-Malaysia.

“Perbatasan susah dikontrol. Saat kita ingin benahi, ternyata banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya di jalur tersebut. Baik akses jual beli dengan harga murah, dan sebagainya. Jadi ini problematik,” ujar dia.

“Yang disebut dengan ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ adalah memberikan wawasan kepada pekerja migran kita. Tujuannya agar mereka sadar perlunya meningkatkan kompetensi mereka, termasuk pengetahuan mereka terhadap kondisi sosial dan norma yang berlaku dalam wilayah dimana mereka akan ditempatkan,” pungkasnya. (Fuady)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER