Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaAcehKekayaan Biokultural Aceh, Hilmar Farid: Potensi Besar yang Belum Dioptimalkan

Kekayaan Biokultural Aceh, Hilmar Farid: Potensi Besar yang Belum Dioptimalkan

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menekankan pentingnya memajukan kebudayaan di Provinsi Aceh dengan memanfaatkan kekayaan biokultural yang dimiliki.

Aceh, menurutnya, menyimpan potensi besar dengan keanekaragaman hayati yang terhubung erat dengan budaya lokal, seperti ekosistem Leuser, Ulu Masen, dan kawasan mangrove.

“Pengetahuan tentang alam yang bersumber dari interaksi masyarakat dengan ekosistem ini adalah bagian inti dari kebudayaan,” ujar Hilmar dalam kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (5/9/2024).

Hilmar menjelaskan  banyak pengetahuan lokal, yang selama ini menjadi dasar pengobatan modern seperti aspirin dan kina, berasal dari warisan tradisional.

Namun, Indonesia, termasuk Aceh, belum memanfaatkan potensi biokultural ini secara maksimal.

“Kekayaan biokultural Aceh bisa menjadi kunci dalam pengembangan wellness dan gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal,” katanya.

Dalam kunjungannya ke Aceh, yang merupakan daerah pertama dari rangkaian 11 universitas yang akan disambangi Hilmar, ia juga menyoroti pentingnya riset terkait tanaman langka di Aceh yang berpotensi besar untuk pengobatan.

“Sayangnya, risetnya masih minim,” tambahnya.

Lebih lanjut, Hilmar menggarisbawahi bahwa menjaga ketahanan budaya di tengah arus globalisasi sangat penting.

“Jika kita mampu mengelola kekayaan biokultural dengan baik, budaya kita akan tetap kuat dan tidak tergerus oleh budaya asing,” ujarnya.

Selain itu, Hilmar menekankan perlunya pembukaan program pendidikan tinggi di bidang-bidang kebudayaan yang saat ini belum tersedia di Aceh, seperti Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Film dan Televisi, serta Tata Kelola Seni. Pendidikan ini, katanya, akan menjadi landasan penting dalam memanfaatkan biokultural di masa depan.

Sinergi antar berbagai pihak seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat, Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan juga sangat diperlukan untuk merumuskan kebijakan budaya yang komprehensif di Aceh.

Hilmar mengajak masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam kegiatan seni dan budaya, serta memanfaatkan ruang publik sebagai pusat kegiatan kebudayaan.

Pentingnya Peran Perguruan Tinggi

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Marwan, dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan pemerintah dalam pemajuan kebudayaan.

“Universitas Syiah Kuala terus berupaya menjadi pusat pendidikan, riset, dan kebudayaan yang berkontribusi pada pelestarian dan pembangunan budaya,” ujar Prof. Marwan.

Acara kuliah umum ini dihadiri oleh lebih dari 1000 peserta, termasuk birokrat, akademisi, mahasiswa, budayawan, seniman, serta perwakilan instansi pemerintah.

Mereka merupakan bagian dari Ekosistem Kebudayaan yang diharapkan dapat mempercepat gerakan Pemajuan Kebudayaan Indonesia.

Selain kuliah umum, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh juga menyelenggarakan dialog budaya dalam acara Meuramin Peumulia Jamee  pada 4 September 2024.

Acara ini bertujuan mendorong lahirnya program-program strategis yang memperkuat peran pelaku budaya dalam pembangunan kebudayaan di Aceh. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER