Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaKejati Aceh Tingkatkan Kasus Dugaan Korupsi Program Peremajaan Sawit Rakyat

Kejati Aceh Tingkatkan Kasus Dugaan Korupsi Program Peremajaan Sawit Rakyat

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh meningkatkan status penanganan perkara dugaan korupsi program peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh tahun anggaran 2018, 2019, dan 2020 dari tahap penyelidikan ke penyidikan.

Informasi itu disampaikan Kepala Kejati Aceh, Muhammad Yusuf didampingi Kasi Penkum, H.Munawal Hadi, dalam konferensi pers di Banda Aceh, Jumat (12/3/2021).

Kajati menjelaskan bahwa sumber anggaran program peremajaan sawit rakyat berasal dari Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berada di bawah Kementerian Keuangan RI.

Total dana program tersebut yang sudah disalurkan ke Provinsi Aceh sejak tahun 2019 hingga 2020 sebesar Rp684.876.687.000. Dengan rincian, tahun 2018 sebesar Rp16.060.682.500, tahun 2019 sebesar Rp243.268.345.000, dan tahun 2020 sebesar Rp425.547.659.500.

Dalam proses pengajuan dana, kata Muhammad Yusuf, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 18/Permentan/KB.330/5/2016 Tentang Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit dan perubahannya.

Selanjutnya, Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 29/KPTS/KB.120/3/2017 Tentang Pedoman Peremajaan Tanaman Kelapa Sawit Pekebun, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Bantuan Sarana dan Prasarana Dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan perubahannya.

Program peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh dilakukan atas perjanjian tiga pihak antara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), koperasi dan pihak bank.

“Adapun permasalahan yang ditemukan dalam perkara ini secara garis besar adanya kelemahan dalam proses verifikasi. Dana yang diperuntukan untuk peremajaan sawit tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam setiap item kegiatan/pengadaan,” ungkap Muhammad Yusuf.

Selain itu, adanya syarat-syarat pengajuan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti tumpang tindih alas hak atas lahan para pengusul. Seharusnya, tambah dia, dalam proses pelaksanaan program peremajaan sawit rakyat harus dilaksanakan oleh pekebun melalui kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi.

“Jadi yang mengajukan permohonan itu adalah ketiga pihak tersebut dan permohonannya diajukan ke dinas perkebunan kabupaten. Selanjutnya dinas perkebunan kabupaten melakukan verifikasi terhadap permohonan/usulan dari masing-masing kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi,” jelasnya.

Kemudian, jelas Muhammad Yusuf, hasil verifikasi oleh pihak kabupaten diteruskan ke dinas perkebunan provinsi, dan hasil verifikasi selanjutnya diteruskan ke Direktorat Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian RI.

Selanjutnya hasil verifikasi dari Dirjenbun menghasilkan rekomendasi teknis yang di dalamnya yaitu berupa nama pengusul, lokasi kebun, jumlah luas dan calon penerima dan calon lahan (CPCL). Dirjenbun kemudian mengirimkan rekomendasi teknis tersebut ke BPDPKS sebagai syarat penyaluran dana ke para pekebun.

“Penerima dana adalah pekebun dan secara mekanisme dana yang sudah masuk ke rekening pekebun langsung dipindah bukukan (Escrow Account) ke rekening kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi. Dan para pihak itulah yang memanfaatkan dana dari BPDPKS untuk peremajaan kelapa sawit,” ungkapnya.

Terkait persoalan itu, Muhammad Yusuf menyatakan, penyidik Kejati Aceh sudah meminta keterangan dan pengumpulan data dari pihak-pihak terkait, antara lain pihak BPDPKS Kementerian Keuangan, pihak Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pihak Dinas Pertanian Provinsi Aceh, pihak Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten, pihak koperasi, pihak kelompok tani dan gabungan kelompok tani, dan pihak Ketiga yang melakukan kerja sama dengan koperasi.

“Dengan ditingkatkannya ke tahap penyidikan, kita semua berharap tim penyidik tindak pidana khusus Kejati Aceh dapat segera menetapkan pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap adanya kerugian keuangan negara,” demikian Kajati Aceh, Muhammad Yusuf. (Kia Rukiah)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER