Rabu, Juni 26, 2024
Google search engine
BerandaAcehJurnalis Didorong Konsen Cegah Perkawinan Usia Anak di Aceh

Jurnalis Didorong Konsen Cegah Perkawinan Usia Anak di Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Perkawinan usia di bawah 19 tahun bukan solusi untuk mengatasi persoalan ekonomi atau permasalahan sosial, sebaliknya justru akan menjerumuskan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks.

Isu perkawinan di bawah usia 19 tahun ini memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk jurnalis.

Hal ini mengemuka dalam diskusi bertema peran jurnalis mencegah perkawinan usia di bawah 19 tahun yang digelar oleh Flower Aceh, Permampu bersama Aceh Bergerak melalui program Inklusi, di Sekretariat Aceh Bergerak, Lambhuk, Banda Aceh, Jumat (24/5/2024).

Staf Flower Aceh Gebrina Rezeki memaparkan hasil penelitian di tiga kabupaten/kota (Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang) fakta di lapangan bahwa dampak dari perkawinan di bawah usia 19 tahun sangatlah kompleks.

“Pernikahan anak ini seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Faktor pendorongnya antara lain kesulitan ekonomi, kurangnya  pengasuhan keluarga, serta tekanan sosial dan stigma negatif ” jelas gaby.

Selain itu, perkawinan usia dini berisiko tinggi terhadap kesehatan, baik bagi ibu maupun bayi. “Pernikahan di bawah 19 tahun bisa menyebabkan risiko kesehatan serius, seperti keguguran, kelahiran prematur, gizi buruk, dan stunting,” tambahnya.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlinduan Anak, Tiara Sutari, juga mengatakan bahwa perkawinan anak melanggar hak-hak dasar anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, sebagai upaya pemerintah mencegah perkawinan usia di bawah 19 tahun. Namun, kenyataannya permohonan dispensasi perkawinan dini masih marak terjadi.

“Dalam lima tahun terakhir, Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat 2.784 permohonan dispensasi nikah. Ini angka yang mengkhawatirkan dan harus segera ditangani,” tegas Tiara.

DP3A Aceh bekerja sama dengan lembaga riset ICAIOS sedang meneliti persoalan yang melatarbelakangi praktik perkawinan anak. Dinas PPA juga tengah menyusun STRADA PPA untuk mengatasi masalah ini.

Ia mengajak setiap stakeholder untuk bersama sosialisasi pencegahan  bqik di lembaga pendidikan dan gampong, keterlibatan tokoh agama untuk mengedukasi masyarakat, dan pendidikan calon pengantin yang terintegrasi dengan materi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Peran jurnalis dalam mengungkap dan membongkar masalah perkawinan anak sangat penting.

Yayan Zamzami perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh menjelaskan bahwa bahwa jurnalis harus lebih proaktif dalam mengangkat isu ini.

“Gerakan jurnalistik di isu perkawinan anak masih minim. Jurnalis harus mendalami cerita-cerita dari keluarga dan komunitas, serta mengaitkan fakta-fakta tersebut menjadi isu besar yang dapat mempengaruhi kebijakan publik,” ujar Yayan.

Jurnalis lainnya yang merupakan Pemred Perempuanleuser. com Ihan Nurdin juga mengatakan bahwa selama ini jurnalis perlu melihat secara komprehensif dalam melihat suatu kasus, dia mengajak para jurnalis tidak hanya meliput ceremonialnya saja, tetapi juga perlu membongkar apa persoalam utama di balik kasus perkawinan usia anak tersebut.  (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER