Banda Aceh (Waspada Aceh) – Komite Persiapan Pemekaran Provinsi (KP3) Aceh untuk Barat Selatan – Aceh (Barsela) mendesak pemerintahan jilid II Presiden RI, Joko Widodo, memasukkan pemekaran Provinsi Barsela dalam paket khsus bersama wilayah pegunungan di Papua, mengingat aspirasi untuk pemekaran Barsela sudah sejak tahun 2003 diperjuangkan masyarakat.
“Sejak tahun 1999 masyarakat sudah berjuang untuk pemekaran Provinsi Aceh, waktu itu dengan nama Aceh Leuser Antara (ALA), dan kemudian pada tahun 2003, masyarakat di wilayah pesisir Barat – Selatan Aceh ingin provinsi sendiri, yang disebut sebagai Provinsi Aceh Barat Selatan(ABAS) atau Barsela,” kata Ketua KP3 Aceh untuk Barsela, Fadhli Ali didampingi salah seorang deklarator Barsela, Adnan NS, di Banda Aceh, Senin malam (28/10/2019).
“Sungguh kami sangat kecewa pada pemerintah pusat. Jika pegunungan Papua saja dimekarkan, sementara kami yang sudah berjuang menyampaikan aspirasi pemekaran selama dua dekade lalu dibiarkan, tidak dihiraukan. Atau harus menunggu pemerintah mencabut moratorium pemekaran,” lanjut Fadhli. Buktinya Kaltara lahir dalam genggaman moratorium SBY.
Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Wamena, Papua, Senin (28/10/2019), telah berjanji menindaklanjuti usulan pemekaran provinsi di Pulau Papua, yaitu Provinsi Papua Tengah, yang akan ditempatkan di pegunungan tengah Papua.
Jokowi menyatakan telah menerima banyak usulan pemekaran. “Tetapi khusus untuk pegunungan tengah, akan saya tindaklanjuti,” kata Jokowi.
Menanggapi janji Presiden Jokowi itu, KP3 Aceh untuk Barsela, mendesak pemerintah Jokowi, juga menyegerakan mencabut moratorium pemekaran, dan menampung aspirasi pemekaran provinsi di Aceh, seperti yang disuarakan masyarakat wilayah pesisir Barat – Selatan Aceh ini.
“Saran kami, kran untuk pemekaran provinsi hendaknya harus segera dibuka kembali agar masyarakat di Barsela, dan kawasan Aceh Singkil, Simeulu dan Aceh Tenggara, yang membutuhkan waktu tempuh 13 jam-18 jam menuju ibu kota provinsi, bisa mendapatkan layanan administrasi pemerintahan yang adil,” katanya.
Menurut Fadhli, dari sisi Indek Pembangunan Manusia (IPM), 5 kabupaten/kota dengan IPM terendah di Provinsi Aceh dalam 10 tahun terakhir, berada di kabupatan dalam Wilayah Barsela dan ALA. Rentang Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten Simeulu, Gayo Lues dan Aceh Selatan serta Aceh Barat Daya (Abdya) berada di urutan 5, sering bertukar-ganti posisi dalam satu dekade terakhir.
Terbelenggu Moratorium
Sebagaimana diketahui, kata Adnan NS — sang deklarator Abas/Barsela (bersama T.Cut Agam dan T.Sukandi), pemekaran Provinsi Aceh dan kabupaten/kota di wilayah Nusantara, terbelenggu akibat munculnya moratorium pertama yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009. Padahal ketika itu, sudah keluar draft Ampres dan sudah berada di atas meja presiden.
Dalam draft itu ada 19 calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan rincian 14 kabupaten/kota dan lima calon provinsi. Lima calon provinsi itu, masing-masing calon Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas), Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Tapi anehnya, diam-diam Provinsi Kaltara dilahirkan di tengah rentangan moratorium. Sementara calon DOB lainnya, termasuk ALA dan Abas, “dipetieskan”. Seiring berganti rezim pada tahun 2014, pemekaran DOB kembali “diharamkan” oleh Jokowi dengan sandi moratorium dilanjutkan kembali hingga tahun 2024 mendatang.
Moratorium sepihak ini kata Adnan NS sangat tidak adil, baik ketika masa pemerintahan SBY maupun setelah pemerintahan Jokowi. Anehnya lagi, lanjut Adnan, dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Papua belum lama ini, Jokowi menggelontorkan wacana pemekaran khusus untuk Papua.
“Jika ini terwujud, maka suatu keadilan yang tidak adil kembali mengeruyak hati warga Barat – Selatan Aceh (Barsela), dari Aceh Jaya hingga Aceh Singkil. Timbul pertanyaan, apakah harus tumpah darah, dan marah-marah dahulu seperti Papua, untuk bisa mendapat ‘kado’ pemekaran?,” tanya Adnan NS yang mantan anggota DPD RI lima tahun membidangi pemekaran daerah ini.
Adnan menyebutkan, dahulu moratorium digelindingkan dengan alasan “kebablasan” dan soal kondisi finansial negara. “Lalu kenapa Papua boleh, Aceh tidak,” lanjutnya.
Baik Ketua KP3 Aceh untuk Barsela, Fadhli mau pun Adnan NS, berharap Presiden Jokowi bisa bersikap adil terhadap anak bangsa di bumi NKRI ini. Aceh dahulunya daerah modal, berdiri sendiri sebagai negeri berdaulat, dan demi Indonesia, Aceh bergabung dalam NKRI.
“Bila tidak memberikan perhatian yang sama, dari Sabang-Meurauke, itu sama halnya dengan pemerintah sedang menaburkan benih-benih kebencian yang suatu saat bisa menuai dendam,” kata Adnan.
Ketua KP3 Aceh untuk Barsela menyebutkan, pemerintahan jilid II Jokowi, dengan Kabinet Indonesia Maju, sudah saatnya meninjau kembali, mengevaluasi rantai yang membelenggu dengan nama moratorium pemekaran untuk menata ulang regulasi baru yang lebih adil bagi semua wilayah di Nusantara.
“Jika sebelumnya sarat kepentingan politis, maka sekarang dan ke depan, lihatlah dari frame strategis nasional. Abas atau Barsela atau entah apa namanya, masyarakat sudah lelah berjuang sejak tahun 2003. Bahkan sudah mendeklarasikan tahun 2012 di Meulaboh,” kata Fadhli.
KP3-Aceh untuk Barsela, kata dia, mengapresiasi niat yang mungkin tulus untuk kemungkinan upaya pemerintah menyusun produk regulasi baru, berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan RPP Penataan Daerah ke depan.
Mimpi masyarakat Pantai Utara Timur segra menjadi kenyataan seiring sedang dilakukan proses awal pembangunan infrastruktur berupa irigasi raksasa, jalan tol, jalur kereta api, memiliki kawasan ekonomi khusus (KEK) dan lainnya.
Tujuan pemekaran, tandas Adnan yang mantan Ketua PWI Aceh ini, bukan membelah-belah Aceh. Tapi ingin menorehkan batas administrasi provinsi di Aceh. Artinya Aceh tetap Aceh, adat satu, adat Aceh, bahasa satu bahasa Aceh, bumi satu, bumi Aceh, syariat satu, syariat Islam di Aceh. Gubernur masing-masing tetap satu di wilayah belahannya.
Peran provinsi baru kelak untuk menentukan nasib tersendiri dan meningkatkan kesejahtraan warganya, sekaligus membumi hanguskan dikotomi “anak kandung dengan anak tiri” di antara sesama masyarakat di wilayah Aceh.
“Kami berharap pemerintah Republik Indonesia, di bawah bapak Presiden Jokowi kiranya juga memaklumi perasaan masyarakat dan persoalan pemerataan pembangunan di wilayah Aceh,” lanjut Fadhli. (Ria)