Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sejumlah LSM meminta Pemerintah Aceh agar segera menuntaskan janji pembagian lahan pertanian untuk mantan kombatan GAM, tahanan politik, dan korban konflik di Aceh.
Hingga tahun 2024, distribusi lahan yang dijanjikan masih jauh dari target yang ditetapkan dalam MoU Helsinki. Menurut data yang dihimpun, dari total kebutuhan 300 ribu hektare lahan, Pemerintah Aceh baru membagikan sekitar 5.934 hektare. Dari jumlah tersebut, hanya 2.000 hektare yang sudah dimanfaatkan
Sejumlah LSM menilai pemerintah gagal dalam memenuhi kewajibannya terhadap kelompok yang terdampak konflik.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, bersama Yayasan HAkA dan sejumlah organisasi sipil, menyusun policy brief untuk meninjau dan menata ulang kebijakan alokasi tanah pertanian bagi eks kombatan, Tapol/Napol dan korban konflik.
Policy brief ini akan diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah Aceh, dan pemerintah pusat.
“Proses distribusi lahan ini terkesan tidak transparan. Banyak mantan kombatan dan korban konflik yang belum tahu kriteria penerima lahan atau bagaimana pembagian dilakukan,” ujar Ahmad Shalihin, Direktur Walhi Aceh, Jumat (13/9/2024).
Lahan Dijual Murah ke Perusahaan
Selain persoalan pembagian lahan, ada juga laporan terkait penyelewengan lahan di beberapa daerah. Di wilayah Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, tanah yang seharusnya menjadi hak mantan kombatan malah dijual dengan harga murah kepada perusahaan kayu.
Akibatnya, mantan kombatan kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat ekonomi dari tanah tersebut.
“Tidak sedikit kasus lahan yang dialokasikan justru dijual kepada perusahaan dengan harga yang sangat rendah. Ini jelas bertentangan dengan tujuan awal distribusi lahan,” lanjutnya.
Walhi Aceh juga menemukan bahwa lahan yang dialokasikan seringkali tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan, yang memicu konflik lahan baru dan deforestasi.
Di sisi lain, banyak lahan yang diberikan berada di kawasan hutan yang sulit diakses dan digunakan oleh para penerima manfaat.
“Lahan yang diberikan banyak yang berada di wilayah migrasi satwa seperti gajah. Kondisi ini tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian, apalagi tanpa adanya infrastruktur jalan yang memadai,” tegas Ahmad.
Rekomendasi LSM untuk Pemerintah
Para aktivis LSM mendesak Pemerintah Aceh segera meninjau ulang kebijakan distribusi lahan ini. Mereka merekomendasikan agar lahan yang tidak produktif atau yang masa izinnya habis, seperti HGU (Hak Guna Usaha) di Aceh Timur, dapat dialokasikan untuk mantan kombatan dan korban konflik.
“Kami menyarankan agar HGU yang tidak produktif atau sudah habis masa izinnya tidak diperpanjang. Lahan-lahan tersebut bisa dialokasikan untuk program reforma agraria,” tambahnya.
Selain itu, tanah TORA, plasma di luar kawasan hutan, perhutanan sosial, dan pengadaan lahan khusus di Aceh Timur juga dapat dialokasikan.
Wakil Sekjen DPP Partai Aceh, Fajran Zain, juga mengatakan kurangnya database yang jelas mengenai jumlah penerima lahan dan kriteria yang digunakan. Selama ini menurutnya pembagian lahan tersbeut belum menjawab rasa keadilan.
“Pembagian lahan ini harus tepat sasaran. Pemerintah perlu memastikan bahwa penerima lahan adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, penting untuk memastikan lahan yang dialokasikan tidak dijual kembali,” tuturnya.
Butuh Roadmap yang Jelas
Para aktivis sepakat bahwa Pemerintah Aceh perlu segera merancang roadmap yang jelas untuk proses reintegrasi ini. Selain kriteria yang transparan, pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan distribusi lahan ini benar-benar memberikan dampak positif bagi penerima manfaat, bukan sekadar formalitas.
“Pemerintah Aceh perlu segera menetapkan langkah-langkah konkret agar mantan kombatan, tahanan politik, dan korban konflik mendapatkan lahan yang layak. Ini harus segera dituntaskan agar tidak berlarut-larut,”tuturnya. (*)