Hari Rabu, 9 Februari 2022, Hari Pers Nasional (HPN) diperingati di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) melalui zoom dari Istana Negara Jakarta.
Jokowi berpesan agar semua pihak memperkuat ekosistem industri pers nasional yang sehat, membangun dan memperkuat platform nasional periklanan.
Pada hari yang sama, Ketua Dewan Pers M. Nuh, turut menyinggung gempuran terhadap media oleh digital platform global yang dinilai berpotensi menjadi digital feodalisme atau penjajahan digital.
“Sebagai makhluk digital, dia bisa masuk ke mana pun, termasuk ke dunia pers. Oleh karena itu, dunia pers memerlukan payung hukum untuk melindungi dirinya- Publisher Right,” kata M. Nuh.
Industri pers belakangan ini memang mengalami tekanan akibat disrupsi digital. Tekanan itu bukan hanya karena pandemi, tapi juga adanya tekanan dari platform media raksasa asing yang memiliki keandalan di bidang modal dan teknologi.
Kondisi ini berakibat pada eksistensi media arus utama (mainstream), baik cetak, online mau pun media elektronik. Ekspansi media raksasa asing dengan platform media sosial, seperti Google, Youtube, Amazon, Instagram, Facebook dan lain sebagainya, telah menggerus potensi ekonomi (iklan) dan memberi tekanan besar kepada media-media arus utama di Indonesia.
Tahun lalu, Dewan Pers mengungkapkan 56 persen belanja iklan global dikuasai oleh Google atau Alphabet, Facebook dan Amazon. Sementara sisanya diperebutkan oleh ribuan media massa, baik cetak, radio maupun televisi.
Di sisi lain, media-media mainstream yang tumbuh di Indonesia, juga harus saling bersaing ketat untuk mendapatkan porsi iklan yang tersisa demi kelangsungan hidup medianya.
Tapi ada pula indikasi, porsi iklan yang ada, kini lebih banyak dikuasai oleh media-media bermodal besar yang memiliki jaringan media dari pusat hingga ke daerah.
Persaingan yang dinilai tidak sehat ini tentu memberi tekanan kepada media-media arus utama yang berada di daerah, yang umumnya media online (siber).
Media daerah kesulitan mendapatkan porsi iklan komersial (produk/jasa), karena sebagian besar iklan ini sudah dikuasai oleh platform media raksasa, seperti disebutkan di atas. Sedangkan porsi iklan komersial yang tersisa, telah dikuasai oleh media arus utama nasional yang memiliki jaringan usaha medianya hingga ke daerah.
Tak hanya itu, porsi iklan dari pemerintah di daerah, ternyata juga sebagian besar telah dikuasai oleh media daerah yang kuat karena memiliki jaringan hingga ke pusat (nasional). Sebab sebagian media daerah yang kuat ini sesungguhnya milik perusahaan media besar nasional yang berpusat di Jakarta.
Bagaimana nasib media daerah yang bermodal kecil? Tentu harus menguras otak untuk bisa tetap bertahan. Sebagian media di daerah kemudian ada yang berlaku curang. Mereka tidak menggaji wartawannya, dengan alasan tidak mampu, bahkan mengutip berita (copy paste) dari media lain untuk mengisi lamannya. Tentu mereka beroperasi dengan biaya (cost) minimal.
Namun sebagian media lainnya, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi perusahaan media, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) atau asosiasi lainnya, tetap mempertahankan prinsip sebagai media profesional.
Perusahaan media ini menggaji karyawan/wartawannya sesuai UMR, memberikan asuransi dan fasilitas lainnya, walau mereka harus berjuang keras agar tetap bisa bertahan. Perusahaan media ini biasanya dijalankan oleh para wartawan senior yang telah memiliki eksistensi dan kompetensi di dunia jurnalistik.
Tapi pertanyaannya, sampai kapan media-media arus utama di daerah ini mampu mempertahankan eksistensi perusahaan media pers dan ideologinya? Sulit menjawabnya, kecuali bila pemerintah mengeluarkan regulasinya. Regulasi yang ditujukan untuk melindungi keberadaan media arus utama yang benar-benar menegakkan prinsip jurnalismenya. Semoga. (**)