Minggu, November 9, 2025
spot_img
BerandaAcehFenomena IUP Baru di Masa Transisi Kepemimpinan, GeRAK Aceh Ingatkan Potensi Koruptif

Fenomena IUP Baru di Masa Transisi Kepemimpinan, GeRAK Aceh Ingatkan Potensi Koruptif

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengungkap adanya fenomena penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) baru yang meningkat tajam pada masa transisi kepemimpinan kepala daerah di Aceh.

Pola tersebut dinilai rawan penyimpangan dan berpotensi membuka celah praktik koruptif.

Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, mengungkapkan hal itu dalam diskusi bertajuk, “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Pengawasan Tata Kelola Tambang Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Sumatera” di Kantor Dinas ESDM Aceh, Rabu (29/10/2025).

Dia memaparkan, dalam sembilan bulan pada tahun 2022 saja, GeRAK menemukan dugaan pelanggaran perizinan terhadap 14 IUP baru yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Pola penerbitan izin yang muncul di masa transisi ini cenderung tidak transparan, diproses secara singkat, dan terbit menjelang pergantian kepala daerah atau Pilkada. Ini situasi yang sangat rawan,” ujar Fernan.

Data Panitia Khusus (Pansus) Tambang DPRA tahun 2024 menunjukkan, pada masa pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah (2012–2017) diterbitkan 4 IUP, Irwandi Yusuf (2017–2018) 7 IUP, Nova Iriansyah (2018–2022) 10 IUP, Ahmad Marzuki (2022–2024) 12 IUP, dan Pj Bustami Hamzah (2024) 9 IUP.

Berdasarkan data Dinas ESDM Aceh per Juni 2025, saat ini terdapat 64 IUP Minerba di Aceh, terdiri atas 28 izin operasi produksi dan 36 izin eksplorasi. Namun, temuan GeRAK menunjukkan banyak izin yang mangkrak.

“Ada izin operasi produksi yang tidak berjalan, tidak ada kegiatan penambangan maupun penjualan. Ini jelas berpotensi melanggar ketentuan dan merugikan negara,” kata Fernan.

GeRAK juga pernah menemukan indikasi praktik bisnis portofolio izin tambang sejak 2014, di mana izin digunakan sebagai instrumen pencitraan nilai saham atau jaminan pendanaan, bahkan melibatkan lembaga keuangan luar negeri.

Ancaman Lingkungan

Sejak 2022, sedikitnya 10 IUP di Aceh teridentifikasi berada dalam kawasan hutan dengan total luasan mencapai 30.602 hektare. Jumlah IUP terus meningkat hingga 2025, dengan total luasan mencapai sekitar 110.000 hektare.

Citra satelit menunjukkan indikasi aktivitas pertambangan ilegal di beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), termasuk di PT LMR dan PT WAM.

“Keberadaan tambang di kawasan hutan bertentangan dengan komitmen pemerintah terhadap target Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) dan agenda perubahan iklim global,” tegas Fernan.

GeRAK juga menyoroti ambigunya kewenangan Pemerintah Aceh dalam tata kelola tambang, meskipun UU Pemerintah Aceh memberi mandat khusus di sektor minerba. Namun, konflik kewenangan antara pusat dan daerah masih terjadi tanpa kejelasan.

Pemerintah Aceh dinilai belum terbuka terhadap informasi publik, terutama terkait data peta dan koordinat IUP sebagaimana diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh No.065/933/2023, yang justru mengecualikan informasi penting tersebut dari akses publik.

“Ini bertolak belakang dengan portal MOMI milik Kementerian ESDM yang justru menampilkan data spasial IUP secara terbuka,” ungkap Fernan.

Minimnya transparansi ini berdampak pada sulitnya pemantauan publik, meningkatnya potensi konflik sosial di sekitar tambang, serta lemahnya akuntabilitas sosial dalam sektor pertambangan.

Pendapatan Daerah dari Tambang 

Selain persoalan tata kelola, GeRAK juga menyebut menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba yang diterima Aceh. Tahun Anggaran (TA) 2026, Aceh mengalami pemotongan DBH Minerba sebesar Rp25,43 miliar, turun 58 persen dibanding 2025 yang mencapai Rp60,65 miliar.

Kabupaten penghasil utama seperti Aceh Barat dan Nagan Raya turut terdampak. DBH Minerba Aceh Barat anjlok dari Rp98,16 miliar (2024) menjadi Rp39,12 miliar (2026), sementara Nagan Raya dari Rp53,31 miliar turun menjadi Rp15,24 miliar.

“Penurunan ini menciptakan fiscal shock bagi daerah penghasil, padahal mereka menanggung beban sosial dan lingkungan akibat kegiatan tambang,” jelas Fernan.

GeRAK Aceh mendorong pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh untuk melakukan moratorium penerbitan izin tambang baru, serta mengevaluasi seluruh IUP yang tidak aktif atau bermasalah.

Evaluasi harus dimulai dengan menelusuri beneficial ownership atau pemilik izin yang sebenarnya, guna menutup celah korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan izin di sektor sumber daya alam.

“Sudah saatnya tata kelola tambang di Aceh dibenahi agar selaras dengan prinsip keberlanjutan, keadilan fiskal, dan transparansi publik,” jelas Fernan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER