Jumat, Mei 3, 2024
Google search engine
BerandaDukung Uji Materi UU Omnibus Law, Ketua PBNU Kritisi Sertifikasi Halal

Dukung Uji Materi UU Omnibus Law, Ketua PBNU Kritisi Sertifikasi Halal

Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau masyarakat menahan diri untuk turun ke jalan menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, mengingat hingga saat ini pandemi virus Corona (COVID-19) belum selesai.

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, mengatakan, pihaknya mendukung uji materi atau judicial review Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Said Aqil dalam keterangan tertulis sebagaimana dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (9/10/2020).

Menurut Said Aqil, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan. “Upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa,” lanjutnya.

Kata Said Aqil, NU menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru disahkan Senin (5/10/2020). Menurut dia, UU tersebut jelas merugikan rakyat kecil dan menguntungkan kapitalis.

Ketua Umum PBNU itu menyoroti keberadaan pasal pendidikan yang termaktub dalam UU Ciptaker. Ketentuan tersebut. katanya, terdapat dalam pasal 26 poin K yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha.

Selanjutnya pada Pasal 65 yang menjelaskan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Ciptaker itu.

Menurut Said Aqil, lembaga pendidikan bukanlah sebuah perusahaan. Dia menilai pasal tersebut dapat melahirkan potensi pendidikan yang disulap sebagai sebuah entitas untuk mencari keuntungan atau komersial.

“Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni,” jelas Aqil.

Dia juga menyoroti sistem kontrak kerja yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi para buruh atau pekerja. Said Aqil mengaku cukup memahami aspirasi dan penolakan dari buruh terkait hal itu.

Dia memahami pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor. Namun, di sisi lain merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.

Said juga menyinggung soal sertifikasi halal. Menurutnya, dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal tersebut dinilai mengokohkan pemusatan dan monopoli fakta kepada satu lembaga saja.

“Semangat UU Ciptaker adalah sentralisasi, termasuk dalam sertifikat halal,” kata Said Aqil.

Menurutnya, sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme syariah yang tumbuh di Indonesia dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.

Said Aqil menambahkan, UU Cipta Kerja itu juga akan mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal, karena kualifikasi auditor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga atau pertanian.

“Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal bias industri,” ujarnya.

Karena itu Said Aqil meminta warga NU harus memiliki sikap yang tegas dalam menilai UU Cipta Kerja. Dia menegaskan kepentingan rakyat kecil tetap harus diperjuangkan.

Menanggapi respons penolakan publik, Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, mendorong masyarakat mengajukan gugatan uji materi ke MK.

Ketua DPR Puan Maharani juga mempersilakan masyarakat yang tak sepakat dengan pengesahan UU Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi ke MK. (**)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER